Sabtu, 12 Januari 2013

Rumah Dara, Great Indonesian Thriller Movie


I would rate it 5,5 out of 10, including how the movie set has been build. Indonesia, my place, as for me, feels more real than any hollywoods work.

Rumah Dara, atau Macabre for international title, garapan sutradara Kimo StamboelTimo Tjahjanto, sejatinya bukan film thriller yang wah, unpredictable, dan new. Bagi penikmat film-film thriller/psikopat garapan Hollywood maka film Macabre ini termasuk dalam just another thriller movie. Sebagian orang bahkan berkomentar film ini duplikat dari Texas Chainsaw Massacre atau Inside, Frontiers dari segi cerita yang serupa.

Tapi, seriously, memang apa yang sebenarnya diharapkan penikmat film thriller? Sebuah jalan cerita yang baru? Jalan cerita tidak terprediksi? Atau aksi-aksi yang membuat pemirsanya ternganga? Film dengan persyaratan begitu bakal masuk kategori drama-action ketimbang thriller. Tapi, untuk nilai plus, apabila film thriller memenuhi persyaratan tersebut maka akan menambah rating. Sebut saja Final Destination, film ini mempunyai jalan cerita elok dengan menyerahkan peran pembunuhan pada takdir. Dan film ini bertahan hingga serinya yang kelima meski ratingnya mulai menurun karena film ini masih menampilkan adegan-adegan mengejutkan yang tak terduga, membuat pemirsanya menerka-nerka kapan maut tiba, dan tiba-tiba slash! satu aktor mati.

Jadi sejatinya film thriller dinikmati lebih kepada keberadaan adegan-adegan mengejutkan yang harus dilalui para actor untuk menghindari pembunuh, daripada jalan cerita itu sendiri.

Kembali ke Macabre.

Acting para aktornya terbilang bagus. Jalan cerita meskipun monoton, tapi masih terbilang riil. Yang merusak di film ini adalah adegan kehadiran polisi yang terkesan lawak. Uhm, well, lawak sebenarnya tidak masalah, tapi acting para pemeran polisi di sini sangat tidak proporsional, tidak selayaknya seorang polisi bertindak. Selain itu juga ada adegan ledakan yang ditampilkan di sini, dan itu terlihat made up. Tapi saya memang tidak berharap muluk-muluk dari segi efek yang satu ini. Lalu satu hal lain yang agak mengganggu adalah warna darah yang diciptakan, terlalu menyala, padahal saya tahu dengan darah yang diambil langsung dari pembuluh darah melalui jarum suntik saja warnanya tidak secerah cat mobil Ferrari Schumacher. Tapi di film ini, ada beberapa scene yang menunjukkan warna merahnya secerah itu. Penting? Ya, karena itu membuyarkan konsentrasi. Tapi beruntunglah karena kemudian setingan film digelapkan mengingat timeline malam yang dipakai, jadi masalah ini tidak terlalu vital. Dan endingnya… jeez, dulu jaman Scream masih heboh (tahun 90an) ending menggantung dari film thriller adalah wow. Tapi sekarang, film thriller dengan akhir menggantung itu boring! Ada ratusan film thriller yang demikian soalnya. Dan film Rumah Dara ini salah satunya.

Jadi itu semua komentar negatifnya. Dan ya, saya lebih mahir memberi komentar negatif daripada positif sebenarnya. Oke, jadi saya acungi jempol pada film Rumah Dara ini untuk tidak menjual adegan cabul pada pemirsa! Hell yeah, satu-satunya adegan yang mengarah ke sana adalah bagaimana seorang tukang jagal sangat tertarik pada Julie Estelle ketika hendak membunuhnya atau ketertarikan tokoh kelompok protagonist pada tokoh kelompok antagonis dengan latar belakang kamar tidur. Itu saja. Dan tidak ada tontonan tak senonoh yang dijual semenarik adegan-adegan pembunuhannya. Kemudian saya juga menambah acungan jempol untuk peran bayi yang riil. Gila! Dapat darimana bayi sebelia itu yang dibolehkan dishoot di layar kaca? Rahasia sutradara? Fine. Jadi menurut saya, dengan tidak menggunakan manekin bayi yang keliatan boongnya, itu nilai plus film ini. Beberapa efek pembunuhannya juga terlihat riil, seperti ketika menggergaji leher, menghujam dada, tusukan-tusukan, dan semuanya. Ini lah yang membuat film ini bisa saya sejajarkan dengan film Hollywood.

Dan nilai plus lainnya adalah ini dibuat di Indonesia, feels more real karena aktor-aktor dan latar film yang lokal. Jadi 5,5 dalam jajaran film Hollywood menurut saya itu luar biasa. Mudah-mudahan Indonesia bisa membuat film-film yang mementingkan kualitas, daripada harga jual. Karena sebenarnya semua sejalan kok, semakin mahal sebuah film, semakin berkualitas, maka semakin tinggi harga jualnya.

2 comments:

benben mengatakan...

jadi gk doyan makan pas abis liat film ini...
(sesaat doang sih)

Zahera mengatakan...

karena itu bangga indonesia bisa bikin film begini.. :)

Posting Komentar

 
;