I would rate it 5,5 out of 10, including how the movie set has been build. Indonesia, my place, as for me, feels more real than any hollywoods work.
Rumah Dara, atau Macabre for international title, garapan
sutradara Kimo Stamboel, Timo Tjahjanto, sejatinya
bukan film thriller yang wah,
unpredictable, dan new. Bagi
penikmat film-film thriller/psikopat garapan Hollywood maka film Macabre ini
termasuk dalam just another thriller
movie. Sebagian orang bahkan berkomentar film ini duplikat dari Texas
Chainsaw Massacre atau Inside,
Frontiers dari segi cerita yang serupa.
Tapi, seriously, memang apa yang sebenarnya diharapkan
penikmat film thriller? Sebuah jalan cerita yang baru? Jalan cerita tidak
terprediksi? Atau
aksi-aksi yang membuat
pemirsanya ternganga? Film dengan persyaratan begitu bakal masuk kategori
drama-action ketimbang thriller. Tapi, untuk nilai plus, apabila film thriller
memenuhi persyaratan tersebut maka akan menambah rating. Sebut saja Final
Destination, film ini mempunyai jalan cerita elok dengan menyerahkan peran
pembunuhan pada takdir. Dan film ini bertahan hingga serinya yang kelima meski
ratingnya mulai menurun karena film ini masih menampilkan adegan-adegan
mengejutkan yang tak terduga, membuat pemirsanya menerka-nerka kapan maut tiba,
dan tiba-tiba slash! satu aktor mati.
Jadi
sejatinya film thriller dinikmati lebih kepada keberadaan adegan-adegan
mengejutkan yang harus dilalui para actor untuk menghindari pembunuh, daripada
jalan cerita itu sendiri.
Kembali
ke Macabre.
Acting
para aktornya terbilang bagus. Jalan cerita meskipun monoton, tapi masih
terbilang riil. Yang merusak di film ini adalah adegan kehadiran polisi yang
terkesan lawak. Uhm, well, lawak sebenarnya tidak masalah, tapi acting para
pemeran polisi di sini sangat tidak proporsional, tidak selayaknya seorang
polisi bertindak. Selain itu juga ada adegan ledakan yang ditampilkan di sini,
dan itu terlihat made up. Tapi saya memang
tidak berharap muluk-muluk dari segi efek yang satu ini. Lalu satu hal lain yang
agak mengganggu adalah warna darah yang diciptakan, terlalu menyala, padahal
saya tahu dengan darah yang diambil langsung dari pembuluh darah melalui jarum
suntik saja warnanya tidak secerah cat mobil Ferrari Schumacher. Tapi di film
ini, ada beberapa scene yang menunjukkan warna merahnya secerah itu. Penting?
Ya, karena itu membuyarkan konsentrasi. Tapi beruntunglah karena kemudian
setingan film digelapkan mengingat timeline malam yang dipakai, jadi masalah
ini tidak terlalu vital. Dan endingnya…
jeez, dulu jaman Scream masih heboh (tahun 90an) ending menggantung dari film
thriller adalah wow. Tapi sekarang,
film thriller dengan akhir menggantung itu boring!
Ada ratusan film thriller yang demikian soalnya. Dan film Rumah Dara ini salah
satunya.
Jadi itu
semua komentar negatifnya. Dan ya, saya lebih mahir memberi komentar negatif
daripada positif sebenarnya. Oke, jadi saya acungi jempol pada film Rumah Dara
ini untuk tidak menjual adegan cabul pada pemirsa! Hell yeah, satu-satunya
adegan yang mengarah ke sana adalah bagaimana seorang tukang jagal sangat
tertarik pada Julie Estelle ketika hendak membunuhnya atau ketertarikan tokoh kelompok
protagonist pada tokoh kelompok antagonis dengan latar belakang kamar tidur.
Itu saja. Dan tidak ada tontonan tak senonoh yang dijual semenarik
adegan-adegan pembunuhannya. Kemudian saya juga menambah acungan jempol untuk
peran bayi yang riil. Gila! Dapat darimana bayi sebelia itu yang dibolehkan
dishoot di layar kaca? Rahasia sutradara? Fine. Jadi menurut saya, dengan tidak
menggunakan manekin bayi yang keliatan
boongnya, itu nilai plus film ini. Beberapa efek pembunuhannya juga
terlihat riil, seperti ketika menggergaji leher, menghujam dada,
tusukan-tusukan, dan semuanya. Ini lah yang membuat film ini bisa saya
sejajarkan dengan film Hollywood.
Dan
nilai plus lainnya adalah ini dibuat di Indonesia, feels more real karena aktor-aktor dan latar film yang lokal. Jadi
5,5 dalam jajaran film Hollywood menurut saya itu luar biasa. Mudah-mudahan
Indonesia bisa membuat film-film yang mementingkan kualitas, daripada harga
jual. Karena sebenarnya semua sejalan kok, semakin mahal sebuah film, semakin
berkualitas, maka semakin tinggi harga jualnya.
2 comments:
jadi gk doyan makan pas abis liat film ini...
(sesaat doang sih)
karena itu bangga indonesia bisa bikin film begini.. :)
Posting Komentar