Minggu, 06 Januari 2013

Ruby Sparks dan Bagaimana Warna Hidup Tercipta



“....a human being has been created out of ink, paper, and the imagination”. –J.D. Salinger

Sangat menginspirasi, terutama bagi mereka para penulis (karena tokoh utama disini merupakan seorang penulis) atau pun seseorang yang berimajinasi mengenai kemunculan sosok pasangan idaman yang sempurna dan sesuai dengan kemauan penulis itu sendiri. Karena dalam film berdurasi satu setengah jam ini menceritakan bagaimana seorang wanita dengan ajaib tercipta dari imajinasi seorang penulis terkenal. Sang penulis, Calvin, yang jatuh cinta pada wanita hasil ciptaannya, Ruby, juga mampu mengubah karakteristiknya sesuai kehendak Calvin. Ya, semudah itu. Jadi segala tindakan dan sifat Ruby yang tidak disukai Calvin, bisa dihilangkan hanya dengan menuliskan apa yang dia inginkan dari Ruby melalui mesin ketiknya.

Terdengar menyenangkan dan sempurna, hmm? Tapi kenyataannya segala yang terlalu terkendali membawa permasalahan. Calvin, dalam satu scenenya sampai berujar, “I want to be what's making her happy, without making her happy” .

Aku ingin menjadi seseorang yang menjadikannya bahagia, tanpa (dengan sengaja) membuatnya bahagia.

Kalimat yang menurut saya menunjukkan kebingungan mendalam. Calvin hanya menginginkan apa yang dia inginkan, dan ternyata kesemuanya itu ia dapatkan dengan mudah, tidak ada tantangan, tidak ada rintangan. Calvin tidak memberi kebebasan pada Ruby, dan demikian juga Ruby yang sekalipun beberapa kali memberontak namun ia tidak bisa benar-benar memberontak, karena sejatinya ia diciptakan dari imajinasi Calvin. Namun seiring berjalannya ketidakstabilan sifat Ruby yang mengikuti pola pemikiran Calvin, yang membuatnya jengkel sendiri karena merasa Ruby jadi seseorang yang aneh, akhirnya membuat Calvin menulis begini ‘Ruby was just Ruby with or without Calvin’ "Ruby adalah Ruby, dengan atau pun tanpa Calvin". Dan dengan begitu Calvin menemui Ruby apa adanya selayaknya manusia biasa, mempunyai kesenangan sendiri tanpa Calvin, mempunyai kepentingan yang tidak berkaitan dengan Calvin, dan mempunyai kecenderungan berselingkuh dari Calvin.

Ya, klimaks dari film ini terjadi ketika Ruby dipergoki berinteraksi secara intim dengan seorang penyelenggara pesta kerabat Calvin. Mereka bertengkar hebat, sampai pada akhirnya Calvin sengaja membongkar hal yang selama ini ia rahasiakan bahwa dirinya bisa mengubah Ruby sekehendak hatinya, mulai dari bagaimana ia berbicara dengan bahasa prancis, hingga isi kalimat yang diutarakan.

Dan di sini, Calvin benar-benar kecewa karena tidak bisa memanusiakan manusia.

Kira-kira makna film ini benar-benar merujuk pada potongan kalimat di awal tulisan kan? Seorang manusia diciptakan lebih dari sekedar goresan pena, selembar kertas, dan sebuah imajinasi. Manusia hanyalah manusia, ciptaan Tuhan Yang Sempurna, tapi tidak akan mampu menciptakan yang sesempurna ciptaanNya. Karena sekalipun kita sangat mengenal diri kita sendiri, dan apa yang kita inginkan, bukan berarti kita bisa menjalani hidup seperti saat ini apabila kita mendapatkan mukjizat untuk mewujudkan kesemuanya secara instan. Perhatikan, bahwa sejatinya ketidaksempurnaan itu melahirkan kesempurnaan, namun kesempurnaan tidak bisa melahirkan ketidaksempurnaan. 

Jadi, mari kita beranjak dari sekedar pemaknaan film ini pada sekedar sosok pasangan ideal, menuju warna-warni kehidupan yang lebih luas.


Manusia mempunyai mimpi atau keinginan, dan sebenarnya manusia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menggapai mimpi atau keinginan itu sendiri ketimbang menikmatinya. Apabila mimpi dapat digapai dengan mudah, dengan instan, lalu apa lagi yang mewarnai hidup? Termasuk juga iman/agama dengan puncak mimpinya adalah surga. Apabila sudah tercapai apa lagi yang mau diperjuangkan? Nah, lihat bagaimana kemudian banyak orang sukses secara materi dan eksistensi kemudian sengaja bunuh diri, atau terjun pada dunia kriminal seperti menjadi pecandu atau melakukan tindakan kejahatan yang konyol. Padahal dari luar mereka terlihat begitu sempurna, dan kita sebagai pemirsa saja mendambakan kehidupan mereka, tapi kemudian kita hanya menggeleng-gelengkan kepala kecewa karena orang-orang tersebut sangat tidak menghargai hidup. Bukan masalah menghargai kehidupan sebenarnya, tapi karena kebosanan, monoton, kehilangan tujuan hidup karena semuanya telah tercapai.

Sebuah penyakit jiwa yang sebenarnya bisa menjangkiti siapapun, terutama mereka yang sedang berjalan menuju kesuksesan.

Jadi apa yang membuat seorang manusia bertahan?

Pertama, iman. Tentu, seseorang yang beriman akan selalu mendapati dirinya tertantang untuk terus memperbaiki diri karena Tuhan telah menerjunkan setan sebagai pengganggu, sebagai rintangan agar manusia tidak bosan untuk terus berusaha memperbaiki iman mereka. Dan kenapa mereka harus berusaha memperbaiki iman? Karena mimpi seorang manusia beragama adalah surga, nirwana, atau apapun balasan Tuhan yang tak tertandingi. Sesuatu yang terdengar fana, fiktif, karena manusia baru bisa merasakannya pada kehidupan setelah mati. Kebenarannya seolah dipertanyakan karena penjabaran yang di luar logika. Sebagian bahkan memilih jadi atheis karena merasa agama adalah hal yang tidak masuk di akal.


Tapi secara psikologi, di sanalah justru titik yang membuat manusia beragama itu tidak mudah menyerahkan hidup. Surga, sesuatu yang bisa dicapai setelah mati yang artinya selama hidup kita hanya mengira-ngira sudah sebaik apakah diri kita, sudah pantaskah Tuhan membalas kita dengan hadiah super luar biasaNya? Dalam Islam sendiri (karena saya beragama Islam), tidak ada nilai absolut untuk poin-poin pahala, seperti : beramal sebesar 1000 rupiah akan mendapatkan satu tiket, puasa senin-kamis akan dapat 100 tiket. Untuk masuk surga paling rendah perlu sejuta tiket, dan surga firdaus (tertinggi) perlu satu milyar tiket. Bersyukurlah, kitab suci umat Islam tidak menuliskannya. Karena itu manusia berlomba-lomba, mengira-ngira, dan tidak pernah berhenti berusaha memperbaiki dirinya karena khawatir bahwa dirinya belum memenuhi persyaratan masuk surga.

Untuk poin pertama ini kesampingkan emosi pribadi seperti kasih sayang Nabi Muhammad atau kecintaan Allah SWT ya, saya mencoba menjelaskan secara universal soalnya ;)

Kedua, masalah. Mereka bosan, hidup mereka menjadi monoton. Logikanya begini, kita tidak akan menemukan kesenangan tanpa kesedihan, kita tidak akan menemukan kebaikan tanpa adanya kebatilan, jadi kita tidak akan menemukan hal positif tanpa adanya hal negatif. Orang-orang dengan kesempurnaan duniawi itu tidak bisa lagi menemukan kebahagiaan karena setiap hari yang ia temukan adalah kebahagiaan. Hidupnya monoton. Perasaan mereka tumpul, tidak bisa lagi merasakan nikmatnya kebahagiaan.

Untuk bisa kembali merasakan kesenangan seperti yang pernah mereka rasakan, maka mereka berbuat sesuatu yang benar-benar menghancurkan hidupnya. Mereka dengan sengaja mencari keburukan untuk membedakan mana yang positif dan mana yang negatif. Karena dari sana kemudian mereka akan perlahan merangkak berjuang kembali mencapai kehidupan nyaman yang pernah dimiliki. Tapi, jangan salah persepsi, kalau sudah sengaja menghancurkan diri begitu, siapa yang bisa jamin kehidupannya bisa kembali seperti sedia kala?

Karena itu, istilah bermimpilah setinggi langit ada benarnya. Kenapa langit? Karena tingginya belum terdefinisi hingga kini. Jadi, teruslah bermimpi dan jangan pernah berhenti. Selain karena pemikiran tersebut bermakna positif secara langsung pada kehidupan manusia, pemikiran itu juga mempertahankan kejiwaan manusia dari keputusasaan dan ketidakbermaknaan hidup.


Menghargai dan toleransi pada keberadaan orang lain termasuk kekurangan dan kelebihannya sebenarnya adalah sebuah bentuk kewajiban, bukannya tindakan yang boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan. Percayalah, kalau bukan karena mereka berbeda dengan kita maka kita tidak akan menjadi seperti diri kita saat ini. Simpelnya begini, semua orang mempunyai sifat yang sama seperti kita. Menyenangkan? Kalau menurut saya sih membosankan. Apa bedanya kita dari orang lain? Apa spesialnya kita dari orang lain? Dan karena naluri manusia adalah menunjukkan eksistensi diri, menyuarakan pada dunia bahwa keberadaan diri mereka di bumi ini bermakna, maka siapa yang jamin kalau usaha membedakan diri itu berujung pada diri kita dengan sifat-sikap negatif?

Maka bersyukurlah dengan masalah yang ada, dan bersyukurlah dengan perbedaan yang tercipta. Karena Tuhan sengaja menurunkan itu semua untuk manusia agar hidup mereka berwarna. Agar manusia tetap memaknai dan menghargai hidupnya.

CMIIW :3

0 comments:

Posting Komentar

 
;