“....a human being has been created out of ink, paper,
and the imagination”. –J.D. Salinger
Sangat menginspirasi, terutama bagi mereka para penulis (karena
tokoh utama disini merupakan seorang penulis) atau pun seseorang yang
berimajinasi mengenai kemunculan sosok pasangan idaman yang sempurna dan sesuai
dengan kemauan penulis itu sendiri. Karena dalam film berdurasi satu setengah
jam ini menceritakan bagaimana seorang wanita dengan ajaib tercipta dari
imajinasi seorang penulis terkenal. Sang penulis, Calvin, yang jatuh cinta pada
wanita hasil ciptaannya, Ruby, juga mampu mengubah karakteristiknya sesuai
kehendak Calvin. Ya, semudah itu. Jadi segala tindakan dan sifat Ruby yang
tidak disukai Calvin, bisa dihilangkan hanya dengan menuliskan apa yang dia
inginkan dari Ruby melalui mesin ketiknya.
Terdengar menyenangkan dan sempurna, hmm? Tapi
kenyataannya segala yang terlalu terkendali membawa permasalahan. Calvin, dalam
satu scenenya sampai berujar, “I want to be what's making her happy, without
making her happy” .
Aku ingin menjadi
seseorang yang menjadikannya bahagia, tanpa (dengan sengaja) membuatnya bahagia.
Kalimat yang menurut saya menunjukkan kebingungan mendalam.
Calvin hanya menginginkan apa yang dia inginkan, dan ternyata kesemuanya itu ia
dapatkan dengan mudah, tidak ada tantangan, tidak ada rintangan. Calvin tidak
memberi kebebasan pada Ruby, dan demikian juga Ruby yang sekalipun beberapa
kali memberontak namun ia tidak bisa benar-benar memberontak, karena sejatinya ia
diciptakan dari imajinasi Calvin. Namun seiring berjalannya ketidakstabilan
sifat Ruby yang mengikuti pola pemikiran Calvin, yang membuatnya jengkel
sendiri karena merasa Ruby jadi seseorang yang aneh, akhirnya membuat Calvin
menulis begini ‘Ruby was just Ruby with
or without Calvin’ "Ruby adalah Ruby, dengan atau pun tanpa Calvin". Dan dengan begitu Calvin menemui Ruby apa
adanya selayaknya manusia biasa, mempunyai kesenangan sendiri tanpa Calvin,
mempunyai kepentingan yang tidak berkaitan dengan Calvin, dan mempunyai
kecenderungan berselingkuh dari Calvin.
Ya, klimaks dari film ini terjadi ketika Ruby dipergoki
berinteraksi secara intim dengan seorang penyelenggara pesta kerabat Calvin.
Mereka bertengkar hebat, sampai pada akhirnya Calvin sengaja membongkar hal
yang selama ini ia rahasiakan bahwa dirinya bisa mengubah Ruby sekehendak
hatinya, mulai dari bagaimana ia berbicara dengan bahasa prancis, hingga isi
kalimat yang diutarakan.
Dan di sini, Calvin benar-benar kecewa karena tidak bisa
memanusiakan manusia.
Kira-kira makna film ini benar-benar merujuk pada
potongan kalimat di awal tulisan kan? Seorang manusia diciptakan lebih dari
sekedar goresan pena, selembar kertas, dan sebuah imajinasi. Manusia hanyalah
manusia, ciptaan Tuhan Yang Sempurna, tapi tidak akan mampu menciptakan yang
sesempurna ciptaanNya. Karena sekalipun kita sangat mengenal diri kita sendiri,
dan apa yang kita inginkan, bukan berarti kita bisa menjalani hidup seperti
saat ini apabila kita mendapatkan mukjizat untuk mewujudkan kesemuanya secara
instan. Perhatikan, bahwa sejatinya ketidaksempurnaan itu melahirkan
kesempurnaan, namun kesempurnaan tidak bisa melahirkan ketidaksempurnaan.
Jadi, mari kita beranjak dari sekedar pemaknaan film ini
pada sekedar sosok pasangan ideal, menuju warna-warni kehidupan yang lebih luas.
Manusia mempunyai mimpi atau keinginan, dan sebenarnya
manusia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menggapai mimpi atau keinginan
itu sendiri ketimbang menikmatinya. Apabila mimpi dapat digapai dengan mudah,
dengan instan, lalu apa lagi yang mewarnai hidup? Termasuk juga iman/agama dengan
puncak mimpinya adalah surga. Apabila sudah tercapai apa lagi yang mau
diperjuangkan? Nah, lihat bagaimana kemudian banyak orang sukses secara materi
dan eksistensi kemudian sengaja bunuh diri, atau terjun pada dunia kriminal
seperti menjadi pecandu atau melakukan tindakan kejahatan yang konyol. Padahal
dari luar mereka terlihat begitu sempurna, dan kita sebagai pemirsa saja
mendambakan kehidupan mereka, tapi kemudian kita hanya menggeleng-gelengkan
kepala kecewa karena orang-orang tersebut sangat tidak menghargai hidup. Bukan
masalah menghargai kehidupan sebenarnya, tapi karena kebosanan, monoton,
kehilangan tujuan hidup karena semuanya telah tercapai.
Sebuah penyakit jiwa yang sebenarnya bisa menjangkiti
siapapun, terutama mereka yang sedang berjalan menuju kesuksesan.
Jadi apa yang membuat seorang manusia bertahan?
Pertama, iman. Tentu, seseorang yang beriman akan selalu
mendapati dirinya tertantang untuk terus memperbaiki diri karena Tuhan telah
menerjunkan setan sebagai pengganggu, sebagai rintangan agar manusia tidak
bosan untuk terus berusaha memperbaiki iman mereka. Dan kenapa mereka harus
berusaha memperbaiki iman? Karena mimpi seorang manusia beragama adalah surga,
nirwana, atau apapun balasan Tuhan yang tak tertandingi. Sesuatu yang terdengar
fana, fiktif, karena manusia baru bisa merasakannya pada kehidupan setelah mati.
Kebenarannya seolah dipertanyakan karena penjabaran yang di luar logika.
Sebagian bahkan memilih jadi atheis karena merasa agama adalah hal yang tidak
masuk di akal.
Tapi secara psikologi, di sanalah justru titik yang
membuat manusia beragama itu tidak mudah menyerahkan hidup. Surga, sesuatu yang
bisa dicapai setelah mati yang artinya selama hidup kita hanya mengira-ngira
sudah sebaik apakah diri kita, sudah pantaskah Tuhan membalas kita dengan
hadiah super luar biasaNya? Dalam Islam sendiri (karena saya beragama Islam),
tidak ada nilai absolut untuk poin-poin pahala, seperti : beramal sebesar 1000
rupiah akan mendapatkan satu tiket, puasa senin-kamis akan dapat 100 tiket. Untuk
masuk surga paling rendah perlu sejuta tiket, dan surga firdaus (tertinggi)
perlu satu milyar tiket. Bersyukurlah, kitab suci umat Islam tidak menuliskannya.
Karena itu manusia berlomba-lomba, mengira-ngira, dan tidak pernah berhenti
berusaha memperbaiki dirinya karena khawatir bahwa dirinya belum memenuhi
persyaratan masuk surga.
Untuk poin pertama ini kesampingkan emosi pribadi seperti
kasih sayang Nabi Muhammad atau kecintaan Allah SWT ya, saya mencoba menjelaskan
secara universal soalnya ;)
Kedua, masalah. Mereka bosan, hidup mereka menjadi
monoton. Logikanya begini, kita tidak akan menemukan kesenangan tanpa
kesedihan, kita tidak akan menemukan kebaikan tanpa adanya kebatilan, jadi kita
tidak akan menemukan hal positif tanpa adanya hal negatif. Orang-orang dengan
kesempurnaan duniawi itu tidak bisa lagi menemukan kebahagiaan karena setiap
hari yang ia temukan adalah kebahagiaan. Hidupnya monoton. Perasaan mereka
tumpul, tidak bisa lagi merasakan nikmatnya kebahagiaan.
Untuk bisa kembali merasakan kesenangan seperti yang pernah
mereka rasakan, maka mereka berbuat sesuatu yang benar-benar menghancurkan
hidupnya. Mereka dengan sengaja mencari keburukan untuk membedakan mana yang
positif dan mana yang negatif. Karena dari sana kemudian mereka akan perlahan
merangkak berjuang kembali mencapai kehidupan nyaman yang pernah dimiliki. Tapi,
jangan salah persepsi, kalau sudah sengaja menghancurkan diri begitu, siapa
yang bisa jamin kehidupannya bisa kembali seperti sedia kala?
Karena itu, istilah bermimpilah
setinggi langit ada benarnya. Kenapa langit? Karena tingginya belum
terdefinisi hingga kini. Jadi, teruslah bermimpi dan jangan pernah berhenti.
Selain karena pemikiran tersebut bermakna positif secara langsung pada kehidupan
manusia, pemikiran itu juga mempertahankan kejiwaan manusia dari keputusasaan
dan ketidakbermaknaan hidup.
Menghargai dan toleransi pada keberadaan orang lain
termasuk kekurangan dan kelebihannya sebenarnya adalah sebuah bentuk kewajiban,
bukannya tindakan yang boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan. Percayalah,
kalau bukan karena mereka berbeda dengan kita maka kita tidak akan menjadi
seperti diri kita saat ini. Simpelnya begini, semua orang mempunyai sifat yang
sama seperti kita. Menyenangkan? Kalau menurut saya sih membosankan. Apa
bedanya kita dari orang lain? Apa spesialnya kita dari orang lain? Dan karena
naluri manusia adalah menunjukkan eksistensi diri, menyuarakan pada dunia bahwa
keberadaan diri mereka di bumi ini bermakna, maka siapa yang jamin kalau usaha membedakan diri itu berujung pada diri
kita dengan sifat-sikap negatif?
Maka bersyukurlah dengan masalah yang ada, dan
bersyukurlah dengan perbedaan yang tercipta. Karena Tuhan sengaja menurunkan itu
semua untuk manusia agar hidup mereka berwarna. Agar manusia tetap memaknai dan
menghargai hidupnya.
CMIIW :3