Jumat, 13 Januari 2012

Words From the Past

Sedang mengingat beberapa bait peristiwa lampau yang terkait dengan kejadian-kejadian yang belakangan berlangsung di kehidupan saya. Ketika itu saya masih sangat belia, terlalu banyak hal yang belum saya pelajari bahkan untuk sopan santun dan tata krama, termasuk bagaimana bersikap terhadap orang lain. Selain itu pun saya masih memandang dunia dalam hitam dan putih, tidak ada abu-abu. Dan seiring itu pula kemudian Ibu membimbingku, mendidikku, perlahan tapi pasti, penuh kesabaran yang terkadang harus mengabaikan rasa iba yang menyiksa atau rasa malu yang serasa menyayat akal pikirannya.

(c) becausemomsaidso.com

Kepekaan Terhadap Orang Lain. Sungguh, ketika itu saya adalah orang yang sangat tidak tahu terima kasih. Baik tetangga saya yang mengantar makanan, ataupun sepupu saya yang menghadiahkan pakaian baru, keduanya tidak saya sambut dengan baik. Dan alih-alih berkata terima kasih saya berturut-turut berkata : pada tetangga saya 'yah sayur, gak suka' secara terang-terangan, dan pada sepupu saya 'bajunya gak bagus, aku gak suka ma' secara berbisik pada ibu saya. Saya lupa bagaimana ibu kemudian memperbaiki suasana yang berubah menjadi tidak menyenangkan akibat perkataanku itu hingga cair kembali, tapi butuh kekuatan yang luar biasa untuk melakukannya mengingat yang menjadi penyebab adalah buah hatinya sendiri. Kemudian Ibu secara terus menerus menanamkan nasihatnya padaku kiranya bermakna begini, "Sebelum bertindak dan berkeputusan, pikirkan bagaimana konsekuensinya bagi dirimu dan terutama bagi orang lain. Anggaplah kamu bicara dengan diri sendiri ketika kamu berbicara pada orang lain, anggaplah kamu memperlakukan diri sendiri ketika kamu bertindak pada orang lain. Apabila kamu menghargai orang lain, kamu juga akan dihargai selayaknya kamu menghargai mereka". Dan lambat laun, saya tidak lagi mencetuskan kalimat-kalimat tidak berperasaan itu.

Mengenai kemandirian dan keberanian, tidak banyak kronologi yang bisa saya sebutkan, tapi ibu seringkali berkata, "Jangan mudah bergantung dengan orang lain, kalau bisa melakukannya sendiri, lakukanlah sendiri. Karena kamu tidak tahu kesibukan apa yang tengah digarap orang lain (berhubungan dengan budaya jawa yang kebanyakan mempunyai sifat 'asal bapak senang'), jangan sampai kamu membuat repot orang lain, juga supaya mencegah kamu jadi tidak berdaya apabila tidak ada orang lain yang bisa membantumu". Dari sini kemudian saya mencoba untuk tidak selalu tergantung pada orang lain, lambat laun keberanian pun tumbuh sebagai imbas dari keharusan saya menghadapi beberapa hal sendiri. Tapi dalam hal ini bukan berarti saya tidak diperbolehkan untuk meminta bantuan pada orang lain dalam segala hal, logis kan saja, toh Tuhan memberikan kita mulut yang salah satu fungsinya untuk mengajukan permintaan bantuan, seperti kata ibu, "Kalau tidak bisa, beritahu orang lain, perkirakan konsekuensi untuk dirimu juga!" ketika saya waktu itu berulang kali gagal membuka kunci gembok di pagi buta, atau memasukkan benang ke dalam jarum sampai saya menangis kesal dan marah-marah sendiri.

Tanggung Jawab. Waktu itu saya ingat sekali bagaimana saya bercerita bahwa teman-teman saya sering tidak diizinkan untuk berbagai macam hal. Sebaliknya yang saya rasakan ketika saya kecil, saya begitu dibebaskan seolah Ibu percaya bahwa putra-putrinya tidak akan berbuat hal yang tidak-tidak. Dan Ibu pun kemudian berkata yang kira-kira bermakna begini, "Jangan sia-siakan kepercayaan yang sudah diberikan orang lain padamu, karena sekalinya kamu mengecewakan mereka yang sudah percaya padamu, kamu tidak akan mendapatkan perlakuan yang sama lagi", lalu saya pun paham dan tidak mencoba-coba untuk melakukan tindakan bodoh yang akan melenyapkan hak bebasku itu.

Jam Karet. Ayah, Ibu, dan kakakku hingga kini adalah orang-orang yang benci dengan istilah jam karet sekalipun mereka tahu kebanyakan orang Indonesia akan menzalimi orang yang ontime ketika berjanjian. Saya disebutkan sebagai orang yang paling lelet di rumah. Bahkan kakak saya berulang kali mengolok saya 'bekicot' ketika dulu kami harus berangkat bersama karena kami bersekolah di tempat yang sama. Dan ketika suatu hari kami berjanjian dengan kerabat untuk pergi ke sebuah pesta pernikahan pagi hari, saya yang masih lelet berkali-kali mendapat omelan. Saya pun kemudian merajuk, dan ibu berkata yang bermakna, "Lebih baik menunggu lebih awal daripada harus ditunggu. Tidak enaknya ketika ditunggu adalah kita jadi diburu-buru. Dan lagi, menunggu itu memang tidak enak, dan bayangkan kamu lah yang ada di posisi orang yang menunggu pelaku jam karet, apa enaknya?" Dan sejak itu saya benar-benar merasa bersalah apabila saya mempunyai janji dan tidak menepati sesuai waktu yang telah disepakati.

Ini hanyalah sekian dari ratusan pelajaran yang Ibu berikan semasa hidup saya. Mungkin yang saya tuliskan ini adalah yang belakangan berkaitan dengan peristiwa yang saya temui. Semoga bukan saja hanya saya yang terinspirasi dengan kalimat-kalimat Ibu. :)

0 comments:

Posting Komentar

 
;