Konsulen itu guru.
Tapi apa itu konsulen? Jujur, sampai sekarang pun saya tidak
tahu makna panggilan konsulen untuk mereka. Mungkin, konsulen adalah orang yang
menjadi tujuan konsul berdasarkan bidang yang mereka geluti. Atau para
spesialis yang menyediakan waktu mereka untuk mengajar dokter-dokter dalam
pendidikan.
Hari ini adalah hari ke 450 sejak hari pertama saya
dinobatkan sebagai koas. Dan hari ini pula, adalah hari terakhir saya
berkesempatan berdiskusi dengan seorang konsulen dari spesialisasi Mata. Beliau
adalah spesialis tersenior dari bagian ini, dan hebatnya, sekalipun beliau
sudah purnabakti dan kini hanya menjalani praktik di rumah sakit dan klinik
swasta, beliau berkenan menyisihkan waktu berbagi ilmu dengan dokter muda.
Saya ingat betul hari pertama saya menemui beliau. Dengan
kepala setengah kosong, oh, bahkan hanya seperempat ilmu mata untuk dokter umum
saja tidak sampai, dengan penuh percaya diri saya menemui beliau untuk
berdiskusi.
Tidak usah ditanya bagaimana hasilnya. Luar biasa
maluuu...
Bimbingan itu menjadi satu arah, lebih banyak beliau yang
menjelaskan. Dan saya tak banyak memberi jawaban ketika pernyataan maupun
pertanyaan beliau meminta jawaban saya. Jadi, akhirnya beliau memberikan tugas,
agar saya membaca lebih banyak lagi mengenai materi jenis-jenis bakteri
penyebab infeksi mata, farmakodinamik, farmakologi, dan penggunaan antibiotik pada
masing-masing jenis bakteri yang dapat digunakan untuk penyakit mata.
Selama ini, bimbingan diadakan di sela-sela jadwal
praktik klinik beliau. Jadi beberapa kali, ketika ada pasien yang hendak
berobat, kami harus menghentikan aktivitas belajar itu kemudian memperhatikan
bagaimana beliau memeriksa setiap pasien, setelah selesai, kami kembali
menyusun bangku untuk melanjutkan diskusi kembali.
Apa yang membuat saya benar-benar terharu adalah
bagaimana beliau mau repot-repot direcoki dokter muda di tengah aktivitasnya.
Dan kalimat perpisahan yang membuat saya tersentuh adalah ketika di saat-saat
terakhir pada bimbingan yang juga terakhir, beliau berkata, “Nanti... kalau
sudah selesai jangan kalian lupa ilmunya. Ya mungkin saja lupa, tapi jangan. Dan
juga kalau bertemu di luar, tegurlah... saya mungkin tidak ingat, tapi kalau
ditegur pasti saya jadi ingat. Seperti waktu itu saya di Jakarta, ada dulu koas,
sekarang sudah kerja di rumah sakit Darmais, dia tegur saya katanya sudah lupa ya
dok”, kemudian beliau tersenyum kecil. Ada luapan rasa bangga yang tersembunyi,
dan tak terurai dengan kata-kata.
“Mudah-mudahan jadi dokter yang baik ya...”
Demikian salam perpisahan dari beliau. Sungguh rasanya
saya termotivasi gila-gilaan untuk banyak menimba ilmu kedokteran yang tak ada
habisnya ini.
Padahal apabila ditarik sebuah garis untung rugi secara
kasat mata, mengajar koas tak memberikan keuntungan yang lebih bagi para
konsulen. Dan justru keberanian mereka mengambil tanggung jawab untuk mengajar
koas sebenarnya meresikokan nama baik mereka. Andai koas ini menjadi dokter
yang tak berilmu, akan dipertanyakan, siapa dulu yang ngajar kamu? Bukankah itu
rasa malu yang akan didapat konsulen? Mencoreng nama baiknya karena kesalahan
yang tidak ia lakukan?
Mereka mengorbankan usaha dan waktu, jam praktik dan
konsentrasinya, untuk mengajarkan ilmu-ilmu kedokteran yang belum tersentuh
oleh dokter-dokter muda yang terkadang terlalu angkuh dan merasa sudah cukup
cerdas. Para konsulen memiliki gaya mengajarnya masing-masing, itu keunikan,
dan itu tantangan.
Bagaimana pun, hari terakhir ini terlalu berkesan. Terima kasih dr. Helmi M, Sp.M