Seorang wanita yang baru saja
beranjak dewasa mendapat sebuah kunjungan singkat dari Ayahnya. Wanita itu
hidup terpisah dengan keluarganya karena ia harus menempuh pendidikan di luar
kota domisili keluarganya, dan oleh karena itu apabila dia tidak bisa
berkunjung ke rumah orang tuanya, maka keluarganya lah yang kemudian
mengunjungi wanita itu.
Hari itu, genap sudah tiga tahun
ia meninggalkan kehidupan bersama keluarganya. Dulu di awal kemandiriannya
untuk hidup sendiri di luar kota, secara rutin ia berkunjung kembali ke
rumahnya. Menganggap dirinya hanya bertahan di kota asing tersebut untuk
menyelesaikan pendidikannya. Seiring berjalannya waktu, dengan agenda kegiatan
yang semakin hari semakin menyempitkan waktu kosongnya, wanita itu tidak lagi
sering pulang ke rumah keluarganya.
Lama kelamaan ia merasa kota
asing itu lah yang menjadi kota tempatnya hidup dan berkembang.
Kunjungan singkat ayahnya
menyadarkan wanita itu pada sebuah fakta yang sebenarnya tengah ia hadapi.
Ketika ayahnya berkemas-kemas dan hendak kembali ke rumah dimana beliau dan
keluarganya tinggal, mereka melakukan sebuah percakapan ringan.
“Kapan kamu pulang?”
“Belum tahu yah, beberapa
waktu ke depan ujian-ujian menumpuk. Ada tugas juga yang harus diselesaikan.
Ah, kuliah ini memang kejam”.
Ayahnya tersenyum.
“Bagaimana dengan puasa dan
lebaran? Libur 2 bulan seperti tahun lalu?”
Dengan berat hati wanita itu
menjawab, “Sepertinya tidak. Ada kuliah tambahan yang harus diikuti. Kurikulum
ini seperti terburu-buru. Selesai itu aku harus menyusun skripsi, lalu bersiap
untuk terjun ke lapangan. Sepertinya libur panjang terakhir hanya awal tahun
kemarin”.
Ayahnya mengangguk.
“Tidak apa-apa, ayah juga dulu
begitu. Pada akhirnya kamu punya kehidupan sendiri”.
Wanita itu diam, tidak
mengerti mengapa ayahnya berkata demikian. Ia hanya menunggu penjelasan
berikutnya.
“Dulu waktu ayah masih muda,
nenekmu juga selalu bertanya hal yang sama. Kapan
pulang lagi? Begitu seterusnya setiap kali ayah pulang ke rumah nenek.
Awalnya rutin setiap seminggu sekali ayah pulang, itu ketika ayah masih sekolah
di luar kota. Dan ketika ayah hendak pergi, nenek selalu mempertanyakan hal
yang sama. Kapan pulang lagi?
Tapi seiring berjalannya
waktu, ketika ayah mulai beranjak dewasa dan menggeluti dunia perkuliahan jauh
dari kota nenek, ayah pulang sebulan sekali. Kemudian ketika ayah masuk dunia
kerja, ayah jadi benar-benar sibuk dan jarang sekali pulang.
Pada akhirnya ayah menikah
dengan ibumu, dan setelah itu membangun rumah dan tinggal dalam sebuah
keluarga, meninggalkan rumah nenekmu di kotanya. Kunjungan ke rumah nenek lama
kelamaan menjadi satu tahun sekali, ketika puasa dan lebaran saja.
Mungkin ini sudah saatnya ayah
juga melepasmu. Mungkin sekarang kamu masih rutin pulang ke rumah, tapi suatu
hari nanti kamu pasti akan akan jarang pulang karena harus membangun
kehidupanmu sendiri demi masa depanmu. Dan ya, ayah akan mencoba untuk ikhlas dalam
hal itu. Yang penting kamu bisa sukses di masa depan”.
Wanita itu benar-benar
terdiam.
Dia tidak pernah menyadari
betapa usianya telah benar-benar dianggap dewasa saat ini. Dia benar-benar
telah meninggalkan fase-fase kebocahannya dimana ia bisa bertindak sekehendak
hati dan mendapati perlindungan orang tuanya ketika dia melakukan kesalahan.
Tidak. Dia sudah menjadi
seorang individu manusia sekarang, seorang wanita, bukan anak perempuan lagi.
Dan cepat atau lambat apa yang disebutkan ayahnya perlahan-lahan memang akan
terjadi. Dimulai dari bagaimana wanita itu akan meraih mimpinya. Awalnya dengan
tujuan membahagiakan kedua orangtuanya. Namun kemudian ketika akan hadir pemuda
yang menemui kedua orang tuanya, meminta izin pada mereka agar bisa mengambil
alih sang wanita dari asuhan keduanya, orientasi kehidupannya akan lebih mengarah
pada kemajuan kehidupan sebuah keluarga baru yang akan ia ciptakan bersama
orang asing. Sedikit mengesampingkan cita-cita mulianya yang hendak mengabdi
kepada orang tua.
1 comments:
:"( :")
Posting Komentar