Jumat, 22 Februari 2013 0 comments

Farewell Cousin


Nyawa manusia, penentunya adalah Tuhan, mutlak. Tuntutan pada siapapun tidak akan mengembalikan sang nyawa. Jadi ikhlas, ikhlas, ikhlas...

Kan segala sesuatu adalah milikNya, maka akan kembali padaNya.

Ikhlas, dan melupakan itu berbeda. Jauh berbeda.

Bukankah ikhlas itu meneriima apa yang tengah terjadi tanpa meniadakan keberadaannya yang pernah hadir?

Sedangkan melupakan lebih kepada menghapus memori, seolah tak pernah hadir di bumi.

Dan karena itu, merindu bukan arti dari tak ikhlas. Sepertinya, kerinduan lah yang menjaga cinta tetap ada diantara pecinta dengan tercinta.

Karena itu, tak salah jika ada rasa rindu kepada mereka yang telah memejamkan mata. Bukankah kita juga selalu merindukan rasul?

Dan ya, aku merindukan momen-momen dengan sang sepupu kecil dari Kalimantan ini...

atau sepupu yang kuajak tersesat di jalan sekitar blok M.

atau sepupu yang terpaksa ikut berteduh di toko elektronik bermerk yang megah hingga berjam-jam hanya untuk menunggu berhentinya hujan.

atau sepupu yang kuajak berkeliling tak jelas dengan motor ke jalan raya di sekitar rumah pada malam tahun baru 2010.

atau sepupu yang selalu menyalakan lagu-lagu akon (RnB) hingga aku tertarik untuk menyimpan salah satunya.

atau sepupu yang pernah meminta saranku ketika ia bingung memilih oleh-oleh gantungan kunci untuk pacarnya di toko batik keris solo.

atau sepupu yang banyak bercerita soal ketertarikannya pada ilmu mesin, ya, mesin, dan alat berat. Aku tidak mengerti, tapi dia berambisi masuk SMK unggulan yang dikhususkan untuk itu.

atau sepupu yang benar-benar mengerti pekerjaan, dan pernah membuatku malu sendiri sebagai perempuan yang tidak lebih tau dari dia.

atau sepupu yang tidak pernah bisa diam.

dan sepupu yang jago main gitar.

sepupu yang bergaya hiphop total.

Hei sepupu,

Aku tidak menangis, tidak, air mataku terbendung oleh kelopak mata dan sama sekali tidak terisak maupun sesenggukan. Ada sesak luar biasa di dada dan di leherku, tapi aku tidak mengerti mengapa air mataku tidak meluap. Bukan karena aku tidak merasa kehilangan kamu, tapi karena aku bahkan tidak percaya bahwa keberadaanmu kini adalah pasif, sebuah memori yang akan menjadi tersimpan abadi dalam sirkuit otakku.

Hai sepupu, kau mengacaukan agenda liburanku, membuat ibumu, dan ibuku, dan nenek kita, menangis. Kamu tahu, sebagai ganti ruginya kamu harus berjanji bahwa kamu akan baik-baik saja. Ya, berjanjilah bahwa kamu baik-baik saja di sana.

Aku tidak bisa ikut mengantarmu ke rumah singgahmu.

Maaf.

Tapi semoga apa yang kupinta padaNya bisa menjadi fondasi kenyamanan singgasanamu di rumah itu.

Nah, perjalanan antar dimensi yang kamu lalui pasti melelahkan. Sekarang beristirahatlah.

Selamat tidur sepupu.

Sampai jumpa lagi.
Sabtu, 02 Februari 2013 0 comments

Kenapa Challenger?

Kenapa tidak Columbia yang terjadi bulan Februari tahun 2003 lalu? Atau Apollo 1 tahun 67?

Saya begitu menggembar-gemborkan peringatan meledaknya Pesawat ulang alik Challenger yang terjadi pada 28 January 1968 itu karena ada kisah yang berubah akibat peristiwa tersebut. Sebuah cerita yang mengubah mimpi sebagian penduduk Indonesia, terutama bagi mereka yang tertarik dengan keluarangkasaan.

Pratiwi Pujilestari Soedarmono

Pernah tahu Prof. Dr. Pratiwi Soedarmono? Beliau adalah seorang lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang melanjutkan pendidikan doktoral di Universitas di Jepang. Beliau adalah orang yang akan menjadi astronot pertama Indonesia bahkan Asia pada misi STS-61-H yang rencananya diberangkatkan bulan Juni-Juli di tahun yang sama (1986) dengan keberangkatan Challenger. Sayangnya, kemudian Challenger yang membawa misi STS-51-L mengalami kecelakaan yang menyebabkan NASA mengalami kerugian milyaran dolar, dan mengakibatkan NASA melakukan pembatalan misi STS-61-H.

Sampai saat ini Indonesia belum memiliki astronot lagi, dan ya, seolah keberadaan astronot hanyalah mimpi belaka bagi penduduk Indonesia. Seandainya ketika itu Challenger tidak mengalami bencana, mungkin Indonesia kini telah meretaskan puluhan astronot, entah yang tergabung dalam NASA, maupun LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) apabila dana pemerintah Indonesia tersalurkan.

Mohri Mamoru, seorang Jepang, pada akhirnya menggantikan posisi Pratiwi Soedarmono pada misi yang lain. Namun beliau, bersama Pratiwi Soedarmono selalu memotivasi penduduk Indonesia bahwa menjadi astronot itu bukan sekedar angan-angan. Memang benar, Ibu Soedarmono batal menjadi astronot bukan karena ketidakmampuannya, tapi karena takdir Tuhan.

Dan apa esensi menjadi astronot? Apabila ada rasa haus akan ilmu pengetahuan, maka menjelajahi luar angkasa, menjajal hidup di dunia yang sama sekali baru dari dunia yang kita tinggali selama ini, membagikan sebuah pengalaman demi perkembangan peradaban umat manusia, mungkin akan menjadi sesuatu yang tak terbayarkan yang bahkan akan membuat siapapun bersedia menukarkannya dengan nyawa sendiri...

...seperti yang telah dilakukan oleh kru pesawat Challenger.
 
;