Minggu, 01 Januari 2012

Beautifying Words

Belakangan ini banyak orang yang cenderung menggunakan bahasa Inggris dalam penulisan, entah narasi, update-an status fb, curcolan di blog, atau tulisan apapun dengan bermaksud memperkeren makna dari tulisannya (salah satunya saya sebenernya, ehehe). Lalu apa yang salah dengan bahasa Indonesia? Tidak punya kosakata sebanyak kosa kata yang dimiliki bahasa Inggris. Oke, meskipun demikian kebenarannya, tapi para penulis bisa saja mensiasati kata-kata yang akan dituliskan dengan mengambil istilah dari sebuah bidang ilmu. Dirangkai dalam kalimat yang menarik, tentunya kalimat berbahasa Indonesia itu tidak akan kalah kerennya dengan kalimat berbahasa Inggris.

Dulu saya termasuk orang yang menghindari penulisan dengan bahasa Indonesia. Tapi setelah bergabung dengan Forum Role Play, saya perlahan mengubah pola penulisan akibat kekaguman pada beberapa postingan member di sana dalam menulis narasi mereka. Maka melalui tulisan ini, saya ingin mengutarakan ucapak terima kasih sebesar-besarnya pada Puppet Master dari Annelise Sanders dan William Hartford karena secara tidak langsung mengajari saya bagaimana sebuah bahasa bisa dirangkai begitu luar biasa.

Ini narasi mereka, cekidot :
1. Warning : Plotnya tidak tamat
    Title : The Only Exception
    Peran : William Hartford, Joaquin Cygnus

Indo Salem : The Only Exception
{Joaquin Cygnus :
Libur musim dingin telah lama usai. Kastil Institut Salem kembali sesak akan murid-murid yang kembali dari kampung halaman mereka, membawa berbagai macam oleh-oleh—dari sekedar cerita lucu tentang natal hingga benda yang memiliki bentuk dan dibungkus kotak berpita. Wajah-wajah sumringah bertebaran dimana-mana. Ekspresi-ekspresi wajah yang terlihat segar, puas karena sudah menghabiskan dua minggu di luar kungkungan institusi pendidikan sihir ini.

Ekspresi-ekspresi yang tidak bertahan lama, tentu saja.

Dalam waktu kurang dari seminggu, para staf pengajar Institut Salem berhasil memporak-porandakan kegembiraan para siswa. Rentetan tugas dan berbagai ujian harian kembali menghujani mereka. Yang berada di tingkat empat tidak kalah naas pula—ujian FLEW menjulang di depan mata, menantang senior-senior tersebut untuk mempertahankan kewarasan mereka.

Karena statusnya sebagai seorang Nadirs dengan tingkat kepandaian diatas rata-rata, maka sudah pakemnya jika Joaquin terseret arus kerajinan para senior itu. Biasanya ia menghabiskan sebagian besar waktunya di perpustakaan, mencari bahan literatur untuk disadur ke dalam tugasnya. Biasanya ia memilih untuk berlatih mantra-mantra transfigurasi dan mantra pertahanan diri di ruang rekreasi. Bahkan, kadang, ia mencuri-curi waktu untuk membaca buku tahun keempat—berusaha memahami duluan materi yang akan ia pelajari tahun depan, jadi ia tidak kelimpungan.

Namun, khusus sore ini, Quinn tidak ingin bertindak seperti biasa.

Saat ini, pikiran Quinn sedang luar biasa penat. Sekalipun ia mencoba dengan keras, ia tidak dapat mengumpulkan konsentrasinya—bahkan untuk membaca cerita singkat sekalipun. Jadi, alih-alih mendekam di perpustakaan, ia malah mendapati dirinya duduk di padang rumput. Tanpa membawa tongkat sihir, tanpa menggenggam buku. Jemarinya memain-mainkan sepucuk bunga dandelion, meniupnya dan menatap helai-helai putihnya berterbangan ke udara lepas dan tertiup angin musim semi hingga jauh.

Sore ini saja, ia ingin menjadi gadis yang biasa. Yang tidak harus meraih nilai straight-Os supaya bisa meneruskan pendidikannya disini. Yang bertingkah seperti seorang stereotip gadis pirang dengan otak yang mendekati melompong.

Sebelum ia kembali menjadi Joaquin yang serius dan hidup untuk belajar, ketika matahari tenggelam nanti.

William Hartford :
Dia kira saat ini hampir tiba musim semi. Sebab salju mulai mencair di atap-atap menara, dan petak-petak halaman lambat laun kembali hidup di bawahnya. Will menduga sudah lama sejak hari terakhir yang ia habiskan berlama-lama di luar kastil, terima kasih kepada libur musim dingin yang berlalu sia-sia dan semester berikutnya yang datang terlalu cepat. Udara tetap sebeku biasanya, dan masih sedingin sebelumnya. Dan ia tahu tidak banyak yang bisa ia lakukan selain menjaga mantelnya tetap rapat, setidaknya sampai musim semi tiba sepenuhnya Maret nanti.

Anak laki-laki berambut cokelat itu menghembuskan nafasnya berat. Jam terakhir hari ini sudah berlalu sejak lama, meninggalkan bertumpuk catatan yang menuntut dikerjakan, dan Will hanya tidak bisa mengerjakan semuanya hari ini. Terlalu banyak. Terlalu banyak yang harus dipikirkan. Dia seringkali berpikir bahwa belajar di Institut Salem nyatanya sama tak bergunanya dengan belajar di manapun juga, karena faktanya, seorang William Hartford tidak bisa melihat dirinya melakukan sesuatu yang berkaitan dengan sihir dan muluk-muluk baginya di sepuluh tahun yang akan datang.

Will bahkan tidak berencana menyelesaikan apapun yang seharusnya ia lakukan setelah sesi pelarian dari tanggung jawab sore ini terpaksa dia sudahi.



Dia menatap sosok itu sedari tadi, dan memperhatikannya dari kejauhan. Ada Joaquin Cygnus di padang rumput, di hari kerja setelah selesai jam sekolah, dan sejauh yang ia lihat tidak melakukan apa-apa, agaknya merupakan satu kesempatan yang langka. Will tidak pernah tahu bagaimana anak-anak cemerlang di kelasnya menghabiskan hari-harinya, tapi ia hampir yakin ini bukanlah sesuatu yang lazim dia lakukan. Anak laki-laki empat belas tahun itu memperhatikannya selagi ia berjalan mendekat meninggalkan jejak-jejak terputus-putus di setiap petak salju yang tersisa; bagaimana sosok itu meniup biji putih dandelion hingga berhamburan seperti yang senang dilakukan anak-anak perempuan.

“Biji-biji dandelion itu tidak akan tumbuh di salju, kau tahu.”

Ditatapnya tangkai yang tidak lagi berkepala di tangan gadis berambut pirang itu, lalu ia tersenyum samar. Will mendudukkan dirinya hati-hati di sampingnya, di sebidang celah berumput yang tak tertutup tumpukan-tumpukan salju terakhir yang akan segera mencair.

Joaquin Cygnus :
Dandelion. Dent de lion, Randa Tapak, Taraxacum Officinale. Sering dianggap hama, tapi tidak ada satu pun anggota tubuhnya yang tidak berguna. Bisa terinjak ratusan kali dalam satu hari, bibitnya dapat hilang dengan begitu mudahnya ketika angin menerpa. Pun begitu, dandelion merupakan satu dari sedikit tumbuhan yang mampu bertahan hidup hampir di segala musim.

So strong, and yet, fragile at the same time.

Manik sewarna es milik Quinn bergerak, mengikuti pergerakan helai-helai terakhir mahkota dandelion itu sebelum lenyap sama sekali. Sudut bibirnya terangkat sedikit, mengulas sebuah senyum kecil. Sebagian dirinya mulai merasa kalem, seolah, entah bagaimana, sebagian rasa penat yang tadi melanda dirinya ikut terbang bersama bibit bunga liar tadi.

Senyum kecil itu masih ada ketika ia menoleh dan mendapati seorang Hartford tengah mendudukkan diri di hamparan rumput mati di sebelahnya, setelah berkomentar ringan tentang perkembangbiakan dandelion. Kontan, Quinn langsung beringsut bergeser dari tempat duduknya semula (guna memberikan ruang duduk yang lebih luas kepada pemuda Boston itu—kau tahulah, anak laki-laki dan posisi duduk mereka yang membuka kaki lebar-lebar), kembali meluruskan kaki dan membenahi rok selututnya sebelum berbicara.

"Iya, aku tahu," ujarnya, dengan kepala yang kembali terarah ke depan. Tentu saja ia tahu bahwa nyaris tidak ada organisme autotrof yang mampu tumbuh di tengah-tengah salju. "Tapi bibitnya terlihat cantik kalau berada di udara," ujarnya, beralibi.

Jemarinya bergerak, merapatkan mantel yang membalut tubuhnya. Ia menarik nafas pelan, membiarkan udara yang suhunya minus sekian derajat ini memenuhi paru-paru. Separuh dirinya berharap waktu melambat sejenak, membiarkan dirinya duduk disini lebih lama lagi. Menikmati saat-saat seperti ini, duduk tenang di lapangan bersama seorang rekan. Sementara separuh dirinya yang lain menjerit-jerit, menyuruhnya masuk kembali ke dalam kastil sebelum hari menjadi semakin dingin dan ia terkena frostbite.

"Hei, Will—" ia menoleh ke samping, menatap pemuda itu.

—kau tahu tidak? Aku baru tahu lho kalau duduk disini, memandangi salju meleleh di rumput kecoklatan, ternyata jauh lebih menyenangkan daripada merangkum sejarah sihir di perpustakaan.

Jeda sedetik. Dua detik. Tiga detik, sebelum akhirnya Quinn memalingkan matanya dari mata biru pucat Hartford dan berceletuk dengan suara serak, "—rambutmu berantakan,"

Padahal sebenarnya kau mau curhat apa, wahai Joaquin.

William Hartford :
Padang rumput di penghujung musim dingin bukanlah tempat terbaik untuk duduk bercakap-cakap sambil menunggu matahari terbenam. Tapi dia kira, semua tempat di luar kastil akan sama saja. Will memeluk lututnya longgar dan menyadari ketika gadis di sebelahnya bergeser sedikit dari tempatnya semula. Ia menghembuskan nafas, mengawasi kabut putihnya menguap di udara yang menggigit. Matanya menjelajah barisan-barisan perdu dan pohon yang membatasi pinggir padang, sebelum mengalihkannya ke titik-titik lain di sepanjang garis langit.

Nyatanya memang tidak banyak yang bisa dilihatnya di tempat ini. Terlebih ketika orang-orang bahkan memilih berkubang dalam esai dan buku-buku mereka alih-alih mati rasa dalam dinginnya udara luar.

Cygnus menimpali ujarannya dengan komentar lain tentang biji-biji dandelion, dan yang dilakukannya hanyalah tersenyum meringis. Will tidak pernah punya ketertarikan khusus terhadap tanaman apapun, tidak pernah tahan mengurus satu pot bunga agar sedikitnya tidak mati sekalipun, meski dia tidak lantas membenci semuanya. Namun dia rasa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk diskusi tambahan mengenai tanaman, atau memperdebatkan mengapa anak-anak perempuan menyukai segala sesuatu yang ‘cantik’ seperti katanya. Anak laki-laki itu hanya menggumam mengiyakan.

Dan selama sejenak mereka terdiam. Lama terdiam, namun rasanya dia tidak akan keberatan jika situasi ini terus berlanjut hingga nanti waktu makan malam. Tidak ada topik yang terlalu mendesak saat ini sampai-sampai harus cepat-cepat dibicarakan. Bahkan angin yang berhembus pun membuat setiap gerakan diam menjadi berkali-kali lebih nyaman. Anak laki-laki empat belas tahun itu membenamkan wajahnya ke salah satu lengan mantelnya, membiarkan rasa beku yang menjalarinya berangsur-angsur menghilang. Will menoleh ketika Cygnus sekonyong-konyong memanggilnya, memandangnya beberapa saat, sebelum kemudian dia menaikkan alisnya karena gadis itu pun tidak kunjung bicara.

“—rambutmu berantakan,”

“…oh,”

Tertegun, refleks ia meraba rambutnya dengan tangan kirinya—yang rasanya agak ganjil, karena kebiasaannya sehari-hari yang mengacak rambut dan bukan sebaliknya. Anak laki-laki itu menggaruk kepalanya yang tak gatal, setengahnya bingung atas ucapan kawannya barusan dan tidak yakin bagaimana seharusnya dia bereaksi. Namun akhirnya Will tertawa. Ayolah, dari ratusan orang yang pernah dia temui seumur hidup, hanya segelintir yang betul-betul memprotes soal rambutnya yang nyatanya tidak pernah berbuat macam-macam. Dan mengamati gadis itu yang mengalihkan pandangannya tiba-tiba, ia duga masih ada hal lain yang barangkali ingin dia katakan.

“Ayolah, Quinn. Ada apa?”

Joaquin Cygnus :
Masih segar dalam ingatan Quinn tentang pertemuan singkatnya dengan Hartford di Golden Goose pada musim panas lalu, dimana ia menemukan anak laki-laki itu sedang terkapar di sebuah meja dengan tampang luar biasa kusut. Ia masih ingat bagaimana ia mendelik ke arah Hartford bulat-bulat karena anak laki-laki itu memanggil dirinya dengan nama kecil. Bagaimana Quinn jadi sering memberikan tatapan aneh-aneh lainnya ke arah Hartford (mulai dari pelototan lain hingga lirikan penuh tuduhan di kelas transfigurasi) selama setahun terakhir.

Jadi, dengan asumsi bahwa pemuda Boston itu sudah kebal, maka Quinn hanya menaikkan sebelah bibirnya, membentuk sebuah senyum asimetris dan tidak berkomentar apa-apa ketika Hartford tertawa dan memanggil nama kecilnya lagi.

"Rambutmu memang berantakan, kok," ujarnya ngotot. "Itu, yang di situ masih mencuat," ia kembali menoleh, mengangkat jari telunjuknya dan menunjuk ke arah rambut coklat yang berdirinya tidak beraturan di sekitar pelipis anak laki-laki itu.

Heh. Main alibi saja terus, sampai mampus.

Ia menarik nafas sesaat, menimbang-nimbang. Awalnya ia berniat untuk menikmati hembusan angin yang minus sekian derajat ini sendirian, berkontemplasi sejenak sembari merilekskan pikirannya yang jauh dari kata santai. Mengamati langit yang berubah warna dari abu-abu pucat menjadi oranye, sebelum akhirnya berubah menjadi hitam kelam dan memaksa Quinn untuk kembali masuk ke dalam kehangatan kastil raksasa di belakang sana. Awalnya ia berencana untuk terus meniup dandelion-dandelion lain, menonton helai-helai bibitnya berterbangan dan tenggelam di dalam salju. Kini, dengan adanya Hartford, praktis rencana itu berubah—ia jelas tidak berminat menghabiskan sisa sore ini dengan duduk berdua dalam keheningan. Rasanya pasti akan sangat awkward, mengingat sudah insting dasar manusia untuk berbicara jika berada dalam jarak dekat dengan manusia lain yang dikenalnya.

Quinn menekuk kakinya, memimik gestur yang dilakukan Hartford. Ia memeluk lutut putihnya, mengeluarkan sehembus uap air berwarna putih, kemudian bertanya pada pemuda Parthian itu.

“Kau pernah jenuh dengan sekolah ini, tidak? Jenuh belajar, jenuh... hidup?"

Karena sungguh, saat ini adalah titik jenuh Quinn.

William Hartford :
Dia tidak pernah tahu ada orang yang begitu perhatian kepada rambutnya.

Will mendengus dan menyeringai lebar. Membayangkan apa yang akan terjadi seandainya dia menangkap tangan itu yang menunjuknya dengan keras kepala, lalu berlagak memintanya merapikannya sendiri dengan seringai paling menyebalkan yang mungkin pernah dia lihat. Namun tidak, laki-laki empat belas tahun itu meratakan sendiri rambut cokelatnya sekenanya, dan tidak, Will tidak melakukan apapun yang melintas dalam benaknya. Meski bukan tidak mungkin, kalau saja akal sehatnya tidak menimbang tamparan macam apa yang mungkin dilayangkan oleh seorang gadis seperti Joaquin Cygnus jika dia berani macam-macam.

Maka anak laki-laki itu mengalihkan pandangannya, masih menahan senyum. Dia melirik ketika gadis pirang itu meniru gerakannya (dan berpikir bagaimana caranya anak-anak perempuan itu masih bisa memakai rok pendek selutut dalam cuaca seperti ini, tapi—ah, kau lebih tahu ke mana ini menjurus).

Dan nyatanya, memang ada hal lain yang ingin dikatakan Cygnus dibandingkan dengan Will dan rambutnya yang berantakan.

“Sering. Biasanya…” jawabnya lambat, mata birunya yang pucat memandang kosong lapisan salju tipis yang membenamkan sol aus sepatunya, bibirnya mengerucut sekilas. Belajar tidak pernah masuk dalam hal-hal yang menjadi prioritasnya. Baginya, hidup ada di luar sana, di manapun selain kastil terpencil dan kehidupannya yang semu tempat segalanya serba tersedia, dan segalanya yang berarti adalah kitab-kitab mantra dan ratusan lambaian tongkat.

Ia menghela napas pelan, lalu menatap anak perempuan pirang yang bertanya di sisinya. “Tapi tidak dengan hidup.”

Karena baginya, hidup itu harga mutlak. Kau bisa mati dengan mudah jika sudah jenuh dengan hidup. Mati bunuh diri, menunggu ajal di rel kereta, bahkan sekadar terjun ke sungai saat sebagian airnya masih berupa bongkahan es yang mengapung. Mati selalu punya banyak cara. Namun ketika kau masih berpikir tentang banyak hal yang bisa disayangkan, atau ketika seseorang memutuskan untuk lari untuk mengubah segalanya, atau saat dia hanya mengangkat bahu dan menerima keadaan apa adanya, maka nyatanya kau, mereka, dia, masih ingin menyambung nyawa. Dan sejauh ini, Will rasa dia masih cukup senang dengan hidupnya.

“Kau tahu, kau selalu bisa berhenti sejenak jika kau jenuh,” gumamnya rendah.

Joaquin Cygnus :
Seringai lebar di wajah Hartford itu patut dicurigai, sungguh.

Reaksi pertama Quinn adalah menoleh ke kanan-kiri, memindai padang rumput itu untuk mencari sosok-sosok lain disana. Hasilnya nihil. Mereka masih berdua, keadaan padang rumput itu masih sesunyi tadi. Warga Institut Salem masih memilih untuk mengubur diri dalam hamparan perkamen alih-alih menghirup udara beku di hamparan rumput mati. Kemudian Quinn meraba wajahnya, memeriksa rambut pirangnya, berjaga-jaga jika ada salju yang secara tidak sengaja mampir di tempat yang tidak tepat sehingga membuat dirinya terlihat lebih konyol dari Charlie Chaplin di film dekade lalu yang berjudul The Tramp. Ketika lagi-lagi hasilnya nihil, maka Quinn menaikkan satu alisnya dan menatap laki-laki Parthian itu dengan pandangan penuh tanya.

"Ada yang lucu?"

Namun, tidak sampai sekian detik kemudian, Quinn balas menyeringai kecil ketika Hartford benar-benar meluruskan rambutnya (padahal mereka berdua sama-sama tahu bahwa kerapian itu tidak akan bertahan lama, mengingat kebiasaan anak laki-laki itu untuk mengacak rambut).

Ia tercenung ketika mendengar jawaban pemuda itu. Betapa ia berfikir dengan begitu naifnya bahwa hanya ia sendiri yang berpikir seperti ini, padahal sudah jelas bahwa ada ratusan sampai ribuan orang lain yang merasakan hal yang sama. Heck, bahkan mungkin sebagian orang lain sama sekali tidak menggunakan otaknya untuk menyusun rencana masa depan sampai sedemikian rupa sampai jadi galau seperti Quinn.

Belum lagi, mereka tidak punya kakak perempuan yang sengaja membuat mereka menghabiskan liburan musim dingin mereka di kastil berukuran giga yang membosankan.

"Aku juga ingin bisa begitu," ia menjawab gumaman Hartford. Ia memejamkan mata, kepalanya ia surukkan ke dalam lipatan lengan di atas lutut. Seolah kepala berhelai pirang itu terlalu berat untuk disangga oleh lehernya sendiri. "...tapi aku capek,"

Rasanya seolah ia sudah terjebak dalam rutinitas membosankan yang ia ciptakan sendiri. Seperti terjebak dalam siklus yang tidak ada ujung pangkalnya sampai ia merasa gamang sendiri—merasa terlalu letih bahkan untuk sekedar berhenti.

William Hartford :
“Tidak ada,” dustanya ringan, mengangkat bahu, lalu menatap lututnya sendiri. Anak perempuan itu tidak perlu tahu apa yang sebelumnya Will pikirkan.

Dahinya berkerut ketika Cygnus sekonyong-konyong menyurukkan kepalanya dengan berat, setelah sebelumnya mengutarakan pernyataan penuh sangsi. Nyatanya ini bahkan tidak menyangkut bisa-tidak bisa atau mampu-tidak mampu. Siapapun tahu bahwa semua orang bisa saja mangkir sesaat, sehari, atau sebulan dari segala rutinitas mereka yang melelahkan—meski dengan beragam konsekuensi yang jika sial tetap menganga di ujung jalan—lantas kenapa dia tidak bisa?

Dan bagaimana caranya seseorang justru lelah untuk berhenti ketika sesuatu yang dilakukannya tanpa henti bahkan lebih hitam putih dari bercak-bercak asap jelaga di dinding-dinding pabrik pinggir kota?

"Bagaimana bisa…?" Anak laki-laki itu berujar heran.

Ada terlalu banyak hal yang tidak dia mengerti dari pikiran orang-orang yang begitu memusingkan pekerjaan yang mereka lakukan. Orang-orang dewasa kenal baik dengan sebutan gila kerja, para pelajar beruntung di perguruan tinggi pun tidak kalah dengan ambisi mereka dalam belajar. Dia cenderung melihat banyak gejala serupa di sekolah non-‘konvensional’ ini yang sudah menampungnya selama tiga tahun terakhir, tapi Will memutuskan untuk tetap tidak memaksakan apa-apa yang ia tahu berada di luar kapasitasnya yang sangat terbatas.

Karena bahkan ia tahu, hanya sebagian dari orang-orang gila itu yang punya motif selain ambisi.

Ambisi, ambisi, ambisi. Dan mereka seringkali terlalu asing dengan keinginan yang berhulu dari hati.

Dia membelai hati-hati punggung anak perempuan yang masih tertunduk itu dengan tangan kirinya, lalu menarik segurat senyum samar. “Kau terlalu serius,” ia berujar ringan, menatap ke arah yang seharusnya merupakan wajah gadis itu, namun terhalang lengan yang terlipat, “dan terlalu serius itu tidak pernah menyenangkan. Setidaknya untukku.”

Dia tahu reputasi Joaquin Cygnus di kelas, dan jawaban-jawabannya yang cemerlang, dan prestasinya yang selalu berada di atas rata-rata. Namun Will akan berterus terang menyayangkan segala produk terbaik itu, jika nyatanya di belakang hanya akan memunculkan hasil buangan seperti ini.

Joaquin Cygnus :
Bagaimana bisa?

Untuk pertama kalinya, seorang Joaquin Cygnus tidak tahu jawaban dari pertanyaan yang diajukan kepada dirinya.

"...bisa saja,"

Tidak ada satupun, dari ribuan judul buku yang pernah ia baca sejak ia baru bisa mengeja sampai berusia lima belas tahun, yang pernah menerangkan mengapa ia bisa sampai merasa seperti ini. Tidak ada satupun, dari filsuf muggle bernama Plato sampai Bridget Wenlock yang bisa menerangkan mengapa ia merasa seperti sebuah mobil yang remnya rusak di jalan menurun—mati-matian ingin berhenti, tapi dipaksa untuk menerima kenyataan bahwa ia tidak bisa dan harus nekat menabrakkan diri ke pohon atau dinding terdekat, jika ia benar-benar ingin. Tidak ada yang tahu mengapa ia merasa begitu berdosa hanya karena ia memutuskan untuk singgah di sini selama sekian puluh menit dan mangkir dari tanggung jawab yang menumpuk.

Sebelumnya, ia tidak pernah seperti ini. Keprofesionalitasan sudah mendarah daging di dalam dirinya. Ia merasa bahwa ia hidup untuk memenuhi ekspektasi orang-orang di sekitarnya—orangtuanya, ketika kakak perempuannya itu tidak bisa diandalkan dalam bidang akademis; guru-gurunya di institut ini, bahkan ekspektasi rekan-rekannya yang biasa melihat dirinya sebagai seorang murid cemerlang. Ia sudah biasa menomorduakan perasaan dan hasrat-hasrat lain yang dihasilkan oleh hatinya. Ia terbiasa menahan perasaannya dan mengejar ekspektasi, alih-alih ambisi pribadi. Ia tidak, dan tidak akan pernah siap untuk menghadapi konsekuensi yang harus ia tanggung apabila ia tidak memenuhi ekspektasi tadi.

Dan sejujurnya, ia tidak berharap agar Hartford, atau siapapun, untuk mengerti.

Quinn kembali tercenung ketika ia mendengar opini Hartford tentang dirinya. Memang ini bukan pertama kalinya seseorang menyebut dia serius—tapi ini pertama kalinya ada orang yang menyebutkan dengan gamblang bahwa sifatnya yang itu bukanlah hal yang baik. Biasanya, mereka menyebutkan fakta itu dengan tatapan kagum atau semacamnya.

Maka ia mengangkat kepalanya, menoleh tanpa benar-benar memisahkan dagunya dari lengan yang ia jadikan tumpuan. Kedua bola matanya terbuka, mencari-cari manik mata Hartford. Memberikan sebuah tatapan sayu yang merupakan gabungan dari beberapa pertanyaan, sebelum melepaskan satu di antaranya.

"Lalu, apa yang harus kulakukan?"

William Hartford :
Will sadar betul bagaimana dia terang-terangan tengah mencoba memengaruhi salah satu anak emas di sekolahnya. Dan sejujurnya, ada sebagian kecil dari akal sehatnya yang merasa tidak ingin Cygnus mendengarkan apapun yang ia katakan. Dia sudah cukup biasa-biasa saja, karatan menjadi murid rata-rata, dan nyatanya nyaris tidak punya apa-apa. Siapa yang akan mengizinkan dia menjerumuskan seseorang yang lebih baik agar tenggelam dalam golongan orang kebanyakan? Mereka tidak akan suka. Orang-orang hanya akan mencela dan memandangnya sebelah mata.

Tapi Cygnus menatapnya seperti itu, dan demi Tuhan... Will tidak tahu apa saja yang berkecamuk dalam kepalanya.

“Aku tidak tahu. Apa yang membuatmu senang?" Dia mengangkat bahu, matanya yang biru pucat balas menatap pandangan gadis itu dengan tenang. Will tidak yakin apa yang sedang diharapkan darinya, atau apa yang seharusnya dia lakukan. Dia hanya tahu bahwa jawaban ragu-ragu barangkali adalah hal terakhir yang ingin didengar mereka yang berpikiran keruh, dan kiranya sama sekali tidak dibutuhkan saat ini.

Dibiarkannya pandangan mereka bertemu sesaat lebih lama, namun kemudian ia mendesah. Anak laki-laki berambut cokelat itu menarik tangannya dari punggung anak perempuan di sebelahnya, lalu kembali menggenggam pergelangannya dengan tangan yang lain. “Well, uh… ” Will mengulum bibirnya sekilas, memalingkan wajahnya sekali lagi kepada salju yang meleleh di dekat kakinya, “…dengar, aku tidak memaksa. Aku hanya berpikir barangkali kau perlu meluangkan waktu untuk dirimu sendiri,” ujarnya lambat.

Will bisa merasakan udara yang rasanya semakin dingin menusuk di sekujur kulitnya yang terbuka. Malam belum juga tiba, namun ia menyadari langit di atas kepala mereka yang sudah berganti semakin gelap.

“Dan kurasa Salem bahkan tidak seserius itu, Quinn.”

…atau dia saja yang menganggap begitu.

Joaquin Cygnus :
Mungkin, seharusnya Quinn tidak bertanya tentang apa yang tidak dan harus ia lakukan kepada Hartford. Dilihat dari usia mereka yang hanya terpaut paling banyak sekian bulan, seharusnya ia sudah mengetahui bahwa pemuda itu tidak memiliki pengalaman hidup yang jauh lebih banyak dari Quinn—bahwa mereka masih sama-sama remaja, usia dimana mereka masih mencari jati diri dan sangat familiar dengan kata 'tidak tahu'.

"Entahlah. Ada banyak hal, tapi..." —tidak ada yang lebih menyenangkan dari senyum puas Mr. Cygnus dan para profesor ketika ia berhasil memenuhi ekspektasi mereka.

Quinn menggaruk lembut pelipisnya, menimbang kata-kata yang sebaiknya ia keluarkan berikutnya. "...tapi dengan padatnya kegiatan kita sekarang, meluangkan waktu akan jadi sangat sulit. Tidakkah begitu?"

Ia mengerutkan dahi ketika Hartford berpendapat bahwa Salem ini tidak terlalu serius. Ia jelas tidak berpendapat sama—ia tidak akan membuang beasiswa penuhnya di akademi Annie Wright, bermigrasi jauh-jauh dari Washington ke sebuah kastil yang koordinatnya tidak ia ketahui jika ia tidak menanggapi institusi pendidikan ini dengan serius. Ia jelas tidak akan merelakan pengetahuan-pengetahuan yang dulu ia dapatkan dan kumpulkan dengan susah payah jadi terbuang percuma hanya karena ia mulai dari titik nol lagi di dunia yang sama sekali baru ini. Ia tidak berminat menjalani tujuh tahun pendidikan sihirnya dengan asal-asalan, karena baginya, tempat ini merupakan semacam pembuktian.

Baginya, terlalu banyak yang sudah dipertaruhkan untuk sampai di titik ini.

"Menurutku tidak," ujarnya singkat, pandangannya kembali terarah ke depan. Ia memutuskan untuk tidak menambahkan apapun—ia tidak berminat memberikan alasan tambahan bagi Hartford untuk mengecap dirinya sebagai terlalu serius.

Quinn menghela nafasnya yang berbentuk uap putih. Ia berasumsi bahwa suhu di tempat ini telah menurun beberapa derajat, sehingga cukup untuk membuatnya menyesal karena masih mengenakan rok seragam yang panjangnya hanya selutut ini. Berusaha mencari kehangatan, ia memeluk lututnya lebih erat lagi. Bibirnya tanpa sadar menyuarakan sebuah gumaman pelan.

"...dingin,"

William Hartford :
Perdebatan tentang penting dan tidaknya sekolah serta remeh-temeh waktu luang karenanya pada dasarnya tidak terlalu menyenangkan bagi Will. Dia tidak pernah diajari untuk menempatkan pendidikan di atas segalanya. Tidak ada orang yang dikenalnya, yang barangkali terlalu dimabuk mimpi untuk menanamkan harapan kosong bahwa menamatkan kelas dua belas akan berpengaruh banyak bagi masa depan seorang William Hartford (meski nyatanya dia tetap tahu bahwa terlalu banyak nilai buruk berarti bersiap-siap untuk dimarahi, hmmph). Sekolah sebelum Salem baginya adalah sesuatu yang harus dilakukan setiap pagi dan ia lupakan setiap sore, dan sama sekali bukan topik obrolan yang menarik ketika sebagian anak yang ia tahu bahkan tidak pernah pergi ke sekolah.

Tapi Salem mengubah hampir segalanya, kebiasaannya, pola hidupnya, dan Will tidak pernah bisa memutuskan apakah ini baik atau nyata saja sia-sia. Mereka bahkan harus mencari celah untuk waktu bebas, jika ia mendengar kata-kata yang dilontarkan Cygnus, dan Will jelas tidak menyukai ketika kenyataan itu diutarakan secara gamblang.

“Yeah, aku tahu.”

Dan laki-laki itu memilih untuk bungkam. Dia tahu. Dia sudah seharusnya tahu dengan baik dan sadar bagaimana anak perempuan berambut pirang itu, teman sekelasnya itu, berbeda dengan dirinya—dalam banyak hal. Dan bahkan ketika perbedaan mereka nyaris berada di kutub-kutub paling ekstrim, Will bisa melihat bahwa salah seorang di antara mereka tidak akan mengubah orang yang lain. Berada hampir sepanjang tahun dalam kastil sial ini tidak lantas membuat mereka sama, dan Will sudah belajar sejak awal dia terdampar di antah-berantah ini untuk tidak mengeluh karenanya.

Anak laki-laki itu menggeser posisinya di atas hamparan rumput mati yang ia duduki, yang rasanya hampir-hampir sedingin salju, hanya saja mereka tidak bisa meleleh dan membuatnya tidak nyaman. Samar-samar dia mendengar Cygnus berkomentar soal suhu udara (yang seharusnya terdengar jelas sekali, mengingat cukup lama sebelumnya mereka tidak bicara apa-apa). Dan jika melihat pilihan rok yang dikenakan gadis itu di musim dingin, pikir Will, berlama-lama di tempat ini tentu tidak akan berdampak baik baginya.

“Sebaiknya kita kembali ke kastil,” ia bergumam. “Sebentar lagi gelap.”
}

2. Warning : Plot (juga) gak selesai
    Title : Leave It to Me, I'll Melt Your Heart
    Peran : Annelise Sanders, Lucas Kwon
Indo Salem : Leave it To Me, I'll Melt Your Heart :
Lucas Kwon :
Bagi Lucas Kwon, perpustakaan selama ini hanya dijadikan sebagai kedok belaka setiap kali ia ingin menyendiri dan menggalau dengan mengingat rumahnya yang berada di New York sana. Tsche, siapa bilang seorang anak laki-laki tak boleh menggalau dan merasakan homesick? Itu adalah hal yang wajar bagi remaja yang masih berada di awal usia belasan tahun. Bukan hanya hak milik manusia berkromosom dobel X saja. Toh di masa-masa Amerika masih cukup kacau begini, kemungkinan ia kehilangan orang lain dari kehidupannya cukup.. besar. (Walau ia berjanji hal itu tak akan pernah terjadi lagi.)

Tapi kali ini berbeda—

Ia telah kembali ke Institut Salem setelah liburan panjang akhir tahun di rumah. Saat paling rendah dalam hidupnya telah berlalu. Kunjungan ziarah ke pusara noona-nya sebelum natal memang membuat sesak, namun hal itu telah lewat, dan Lucas menyongsong awal tahun dengan semangat yang telah di-charge penuh. Rasa rindunya sepanjang musim gugur dan setengah musim dingin kemarin telah terhapuskan dengan kencan (uhuk!) maksudnya berjalan-jalan, dan menghabiskan waktu bersama Azalea dan Rose-noona—yang tentunya tidak dalam satu saat yang sama.

—ia datang ke perpustakaan bukan untuk bermuram durja dan menguarkan hawa-hawa negatif.

Lucas Kwon menginjakkan kaki di perpustakaan hari ini dan duduk di salah satu kursi dengan tenang untuk belajar.

Hal yang langka, memang—tapi bukan berarti tidak mungkin. Apakah salah bagi seorang penghuni asrama gagak menggunakan waktu luangnya di hari libur seperti ini untuk mengendap di perpustakaan? Na’ah, bukan hanya lumba-lumba saja yang mampu bersikap layaknya kutu buku. Dan lagi, alasan utama ia mendadak rajin seperti ini adalah.. yah, ada imbalan yang dijanjikan oleh Rose-noona jika ia mendapatkan nilai yang baik di akhir tahun ajaran nanti. Mana mungkin Luke melepaskan kesempatan itu begitu saja.

Jemari mengetuk permukaan meja dengan irama tetap, sementara sepasang obsidiannya mulai bergulir menyapu ruangan, mencari-cari hal yang menarik di sekitarnya.

Nyatanya ia memang tak sanggup berkonsentrasi dengan buku tebal di hadapan dalam jangka waktu yang lama.

Annelise Sanders :
Ada salju, di luar. Ada salju, yang putih lagi bersih, berjatuhan secara teratur meskipun tidak terlalu tebal. Merontok di atas kuncup-kuncup winter jasmine dan beberapa bunga yang berwarna sama gading, mengkreasi monokrom putih menyilaukan ketika disapu oleh sinar matahari musim dingin yang pucat. Gadis berambut burgundy itu tahu lewat kerlingan-kerlingan singkat yang dilakukannya saban kali merasa aksara di matanya memadat. Annelise akan mendongak beberapa saat, membiarkan matanya mereguk panorama yang ada, sebelum kembali menunduk.

Yang dipunyainya adalah, kitab mantra standar untuk siswa-siswi kelas tiga. Seorang Annelise Sanders dengan tendensi yang dibentuk lingkungannya tidak bisa acuh begitu saja dengan fakta bahwa tahun depan ia akan mengikuti FLEW, bukan? Meskipun sedikit banyak ia menghabiskan waktu di sini hanya karena tidak punya aktivitas lain. Ruang rekreasi Nadirs belakangan selalu memberikan vibra aneh merayapi tengkuknya, dan presensi seseorang yang kadang ia lihat di sana semakin membuatnya merasa tak mampu berlama-lama. Sungkan. Sementara bagian lain kastil hanya berupa relung-relung tinggi yang terasa dingin di musim seperti ini. Annelise tidak punya jadwal latihan Quidditch yang harus ia ributkan begitu snowdrop mekar nanti...

...ataupun cerita mengenai bagaimana liburannya. Kunjungan ke Desa Sallowsville pun tidak diambil gadis itu, praktis menjadikannya selongsong yang berjalan malu-malu, berusaha menghindari tindakan semacam menabrak seseorang tanpa sengaja atau menumpahkan sup minestrone saat santap malam. Annelise Sanders membunuh waktu dengan cara yang amat sederhana ini; melarikan jemarinya di atas lembaran kitab untuk menggaris-bawahi beberapa hal penting, a premeditated murder of minutes.*

Dia semakin ahli melakukannya. Dan semakin akrab pula, dengan kesendirian yang mencengkramnya seperti ode gereja yang kadang dibayangkannya pada malam-malam panjang. Maka satu desahan kembali terlolosi dari bibirnya, gadis itu untuk kesekian kalinya mendongakkan kepala sedikit dan mengerling pada jendela di sisi kirinya. Diam. Memperhatikan rinai tipis salju yang jatuh.

you see the silent, soft, and cruel snow
falling again, and think what ills betide

Lucas Kwon :
Obsidiannya tak sengaja menangkap bulir kapas putih yang melayang turun di balik jendela, memberikan perasaan tak nyaman, seperti yang biasa dilakukan musim dingin padanya. Walau tak mau mengakuinya, salju masih menjadi momok yang selalu sukses memperburuk suasana hati. Lucas Kwon bergerak dalam duduknya, membuat kursi yang diduduki berderit samar di tengah ruangan yang sepi. Rasanya di dalam perpustakaan, suara sekecil apapun terdengar jauh lebih keras dari yang sebenarnya. Ia menggeleng, menghapus bayangan samar kristal beku di luar sana, sementara jemari tangan kanan merayap dan menyentuh bandul kalung yang melingkari leher.

Saat itulah ia melihatnya—dan otomatis mengembangka senyum lebar.

Seorang gadis yang seingatnya berada di meja Nadirs setiap kali makan malam (jangan tanya mengapa Lucas memperhatikan barisan anak-anak di bawah panji lumba-lumba), dan yang terpenting, adalah senior—yang mana berarti memiliki usia lebih tua dari dirinya. Sekilas pandang, ada aura anggun yang menenangkan yang dikuarkan oleh gadis tersebut. Mungkinkah memang setiap penghuni Nadirs memiliki aura seperti itu? Menilik gadis lain yang dikenalnya di asrama yang sama juga kurang lebih.. seperti itu.

Nadirs. Bukankah itu asrama anak-anak yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata?

Luke nyengir sewaktu ide melintas dalam benaknya. Ia segera menutup bukunya, bangkit berdiri, lalu menjejakkan kaki mengambil beberapa langkah mendekati sang gadis, dan menaruh buku tebal berisi sejarah sihir tersebut di meja, tepat di seberang. “Apa aku mengganggu kalau duduk di sini?” menjaga suaranya terdengar lirih, namun tetap mampu terdengar oleh gadis berambut ikal itu.

Biarkan saja musim dingin masih terus menyerang di luar sana. Ia telah menemukan hal yang menarik di dalam perpustakaan. Azalea-noona pasti akan ngamuk nanti jika mengetahui hal ini, tapi sepertinya Lucas Kwon baru saja menemukan cara untuk dapat berkonsentrasi dalam kegiatan belajarnya—sembari bersenang-senang. Berdeham sejenak. “Aku butuh bantuan mempelajari buku ini.”

Secara tersirat meminta pertolongan.

Annelise Sanders :
Tadinya, Annelise tidak begitu memperhatikan sekeliling, kau tahu. Kecuali fakta bahwa di luar salju sedang berinai meski tipis-tipis, dan apabila ia menghembuskan nafas sedikit lebih keras dibanding biasanya, akan tercipta uap samar yang berwarna putih agak kelabu. Pikiran gadis itu sedang terpusatkan pada beberapa deret nama mantra yang bisa digunakan untuk menyembuhkan, sementara penggal ingatan lain tidak pernah bertahan lama. Tentu—itu sebelum ia menangkap suara pergerakan signifikan. Sebab awalnya sang gadis selalu berpikir orang jarang mau membelanjakan waktu di perpustakaan pada musim begini, apabila punya ruang rekreasi dan perapian yang menyala hangat.

Nyatanya... ada juga. Selain dia.

Seorang anak laki-laki dengan paras asiatik (mengingatkannya akan, Salveaus) dan rambut berwarna gelap. Tarikan wajahnya ramah. Ia mengatakan sesuatu yang membuat mata Annelise melebar sedikit. Bantuannya. Orang jarang pula melakukan hal itu, sebab apabila ada satu-dua hal yang membuat nama Annelise Sanders bukan sekadar cameo melintas di kastil ini adalah ketidakteraturannya dalam berbicara. Pun, mereka bisa meminta Cygnus ataupun Hartford. Tapi... dirinya?

“Tidak. Sama sekali... tidak. Silahkan.”

Sayangnya, rejeksi bukanlah fortenya. Dia terlalu takut mendapat perlakuan serupa sehingga gadis itu bisa dikategorikan sebagai seseorang yang terlalu—giving. Hingga batasnya bahkan menjadi bias. Dan anak laki-laki itu berkata dia butuh bantuan mempelajari bukunya. Melirik, sekilas. Kitab sejarah, tampaknya. Tingkat dua, yes? Ia hafal wajah di angkatannya meskipun mungkin tidak sebaliknya, begitu pula dengan angkatan atasnya. Annelise menganggukkan kepala, mengulas senyum tentatif namun tulus. Ia menutup kitabnya sendiri, menggesernya sedikit ke samping, lantas melipat tangannya.

“Bab berapa... yang kau butuhkan?”

Salju masih menari-nari selepas bingkai jendela. Sementara kata-kata yang ia ucapkan, memantul sepi pada permukaan meja dan lirih punggung kitab yang tergeletak di atasnya.

Lucas Kwon :
Dari dekat ia dapat mengamati lawan bicaranya dengan lebih baik. Surai kecokelatan yang mengikal, tak begitu panjang namun masih lolos hingga bawah bahu, nampak lembut dan menggoda untuk diacak-acak (tidak, ia takkan berlaku kurangajar pada senior seperti itu); . Ada harum samar yang mengingatkan Lucas akan padang rumput penuh bunga yang berada tak jauh dari rumahnya saat musim semi tiba.

Gadis itu tersenyum yang kian menambah pesona yang dimiliki—dan Lucas Kwon sendiri mendapati dirinya turut menarik bibir hingga membentuk lengkung manis. Ia merebahkan diri pada kursi yang ada, masih mengarahkan kristal hitam segelap langit malam tanpa bintang ke arah paras sang gadis. Untungnya, senior yang satu ini cukup tanggap akan permintaan tolongnya. “Eh, mengenai sejarah Salem,” menjawab setelah berpikir sejenak, sembari membuka buku dan membalik-balik halamannya, mencari subbab yang dimaksudkan.

Sebenarnya ingin berkata dari bab pertama hingga akhir, meminta dijelaskan secara runut dan mendetail. Akan tetapi hal itu akan membuatnya nampak bodoh di hadapan orang-orang. Sepanjang pengalamannya, laki-laki yang terlihat pandai memiliki poin tambahan di mata anak perempuan, sementara yang bodoh—yah, silakan isi sendiri. Lagipula hal tersebut terdengar cukup merepotkan. Jika ada yang memintanya mengajari satu buku penuh, yang dilakukan Luke hanya satu: melemparkan buku tersebut sejauh mungkin. Ia tidak mau menerima perlakuan semacam itu. Setidaknya, tidak di daam perpustakaan ini.

“Ne, Noona,” pemuda keturunan setengah Korea ini tak mampu lagi menahan dirinya. Senyumnya berubah, sedikit seduktif kali ini, dengan binar usil sekilas melintasi irisnya. “Noona neomu yeppeo,” mengucap pelan dengan tegas yang dihiasi semburat nada goda secara samar. Yang digunakan olehnya adalah bahasa ibu—ehm, ayah, dalam konsteks ini, karena darah Korea yang mengalir dalam dirinya berasal dari pihak Appa. Menguji apakah seorang penghuni Nadirs dapat mengetahui makna yang terkandung dari bahasa yang tak dikenal.

Walau begitu, Lucas tidak takut untuk mengulanginya dalam bahasa Inggris—nantinya.

Annelise Sanders :
Sementara ia bisa menangkap dari ekor mata pula, anak laki-laki berparas Asiatik itu tersenyum setelah Annelise sendiri melakukannya.

Sejumput rasa canggung merebak. Nyaris tergagap, Annelise mengalihkan pandangan pada kitab mantranya. Separuh keki mendapati buku tersebut sudah ditutup; ia sendiri yang melakukannya, dan bakal tidak lucu apabila mendadak ia menekuninya lagi hanya karena berdalih salah tingkah. Anak laki-laki di sebelahnya punya ekspresi yang—disangkalnya atau tidak—menarik. Bukan berarti karakter seorang Annelise Sanders mendadak berubah. Tapi gadis itu tetap tahu mana-mana yang berparas rupawan terlepas dari tendensinya untuk menundukkan kepala dan hanya mengamati ujung jempolnya. Annelise mungkin pemalu, namun dia bukannya tidak melihat.

Lalu yang hendak ditanyakan adalah mengenai Sejarah Salem. Hal ini sontak mengubah pusaran di pikiran sang gadis, yang selama dua puluh detik terakhir menimbang-nimbang apakah sebaiknya ia bertanya nama atau tidak. Kemudian diputuskannya hal itu bisa menunggu. Ia bisa menggunakan panggilan ‘Mister’ dan dirasanya itu cukup sopan. Lagipula, menerangkan sejarah tidak harus banyak-banyak berinteraksi—cough.

“S-sejarah Salem. Well.” Jemari telunjuk diketukkan beberapa kali pada meja. “M-hm... Kalau soal pendiri Nadirs yang menciptakan kolam seleksi... sudah tahu, kan?”

Belum? Bisa dimulai dari sana, kalau begitu. Gadis itu sama sekali tidak keberatan membahas soal Lady Well. Hanya, harapannya, yang bersangkutan tidak mendadak muncul karena merasa diperbincangkan. Ini toh untuk kepentingan studi.

“Ne, Noona,”

Eh?

“Noona neomu yeppeo,”

“Pardon..?” lirih gadis itu berucap. “Yang barusan... hng, aku tidak mengerti. Maaf.”


copyright goes to google.com and IndoSalem

0 comments:

Posting Komentar

 
;