Rabu, 12 Desember 2012 0 comments

Memories of Jogja

Ini bukan review tentang tempat-tempat wisata. Ini juga bukan usaha promosi saya tentang tempat-tempat wisata. Ini hanya cerita tentang memori saya pada kota paling merindukan bernama Jogjakarta.

Nenek saya asli Solo, namun saya tinggal di Jakarta. Setiap tahun saat lebaran, atau setiap ada waktu libur cukup panjang saya travelling lintas provinsi menuju Solo. Jalurnya, terkadang melalui kota Magelang apabila dalam kondisi tergesa, tapi juga melalui kota Jogja apabila memang ada waktu luang yang cukup panjang untuk berwisata. Dan karena rutinitas itu memori saya tentang wisata kota Jogja sudah terbentuk sejak saya kecil.

TAMAN SARI

Jogja, adalah kota besar yang mempunyai nilai kebudayaan, nilai seni, nilai sejarah, nilai pariwisata, dan bahkan nilai keagamaan yang cukup mengagumkan. Memori terdahulu yang saya ingat mengenai Jogjakarta adalah wisata menuju taman sari. Ayah saya menyebutnya sebagai pemandian putri raja. Saat itu tempat wisata ini belum seindah sekarang. Lorong-lorongnya tanpa lampu penerangan, gelap tanpa pernah terpapar sinar matahari. Terdapat retakan-retakan dengan corak kehitaman pada dinding-dinding lorong yang mengisyaratkan usia bangunan. Tapi dengan begitu justru kesan kelawasannya benar-benar terbentuk. Sayang, dokumentasi yang saya miliki berupa foto cetak, jadi yang saya sertakan di post ini hanya foto2 yang saya dapat dari google.

Taman sari, merupakan taman berisi pemandian sebagai bentuk hadiah kepada istri-istri Sultan yang membantu selama masa peperangan.

Gambar di atas disebut sebagai Gapura Panggung yang diperuntukkan bagi Sultan ketika menyaksikan tari-tarian yang disajikan di bawahnya.
 
Ini adalah tempat pemandian yang terbagi menjadi tiga area, yaitu Umbul Kawitan (kolam untuk putra-putri Raja), Umbul Pamuncar (kolam untuk para selir), dan Umbul Panguras (kolam untuk Raja). Sekarang, tempat ini sudah direnovasi menjadi jauh lebih indah.


pusat masjid bawah tanah sebelum renovasi

Ini adalah gambaran pusat masjid bawah tanah yang dihubungkan melalui lorong-lorong, kemudian pusatnya berupa persegi dengan lima tangga di sekitarnya. Tanpa atap, sehingga bisa menikmati panorama langit dengan berdiri di pusat tangga.


PASAR MALIOBORO

Jogjakarta tanpa Malioboro bukanlah wisata. Jadi, bahkan di usia saya yang masih sangat muda, dan cenderung tidak tertarik berbelanja, saya sudah diajak berkunjung ke sana. Pasar, bukan kata yang menarik sebenarnya bagi seorang bocah, tapi apa yang saya temukan kemudian tidak seburuk ekspektasi sebelumnya. Malioboro bukan "pasar becek" yang menjual makanan-makanan basah dan cenderung kotor dan... yah, becek. Malioboro juga bukan "pasar sumpek" yang di seluruh penjuru mata memandang hanya bisa melihat penjual dan barang dagangannya. Pasar asesoris ini terletak di sepanjang trotoar Jl. Malioboro. Penjualnya memajang barang dagangan di sepanjang tepi trotoarnya. Tapi dengan begitu bukan berarti kemudian trotoar Malioboro menjadi tampak kotor dan berantakan. Hebatnya para penjual di Malioboro ini cukup disiplin sehingga pasar tradisional ini bukan menimbulkan keengganan untuk dikunjungi, melainkan sangat mengundang untuk dinikmati hingga oleh turis-turis asing.

Barang-barang yang dijual pedagang Malioboro adalah asesoris-asesoris khas jogjakarta. Sebut saja surga cinderamata. Dari tas, gantungan kunci, gelang, poster, baju, miniatur pajangan, sandal, dan semua jenis benda yang bisa dikreasikan hingga membentuk kekhasan Jogjakarta disajikan di sepanjang jalan berjarak 1 km itu.

Jalan rayanya memberlakukan sistem one way. Mungkin untuk mengurangi kepadatan jalan, karena saya akui, belakangan ini memang setiap hari libur, bahkan libur rutin seperti Sabtu Minggu saja berhasil membuat Jl. Malioboro macet total.


Saya sendiri tidak tahu menahu mengenai sejarah dan makna keberadaan pasar Malioboro ini, tapi seingat saya memang kepadatan Malioboro saat ini dibandingkan ketika saya masih duduk di bangku SD dulu sudah jauh berbeda. Dahulu, kepadatannya hanya menyebabkan kendaraan melaju perlahan, paling-paling penyebabnya hanya karena pejalan kaki yang sedang menyeberang. Tapi kalau sekarang ini, mobil maupun motor melaju lambat dan sering berhenti total. Buruknya lagi antrean ini menyebabkan kemacetan di beberapa ruas jalan sekitar Malioboro.

Tapi memang demikian menurut Yogyes.com, bahwasannya Jalan Malioboro dulunya adalah jalan yang sunyi dan hanya dilalui oleh orang-orang yang hendak ke keraton atau ke kawasan Indische. Kemudian jalanan ini berangsur-angsur menjadi lebih ramai berkat keberadaan pasar Beringharjo dan permukiman Tionghoa.


Selain sebagai pusat perdagangan, sebenarnya Malioboro ini juga sering digunakan untuk pengadaan festival-festival kebudayaan karena letaknya yang menjadi sumbu imajiner antara pantai parangtritis, keraton, tugu, dan gunung merapi. Namun saya sendiri belum pernah menyaksikan acara-acara tersebut.

 
 
 
suasana lorong perdagangan Malioboro
Selain aktivitas perdagangan, pasar Malioboro tidak lepas dari keberadaan para musisi jalan (seperti yang disebutkan dalam lagu Yogyakarta garapan Katon Bagaskara). Pengamen? Saya lebih suka menyebut mereka sebagai musisi jalan karena tidak seperti pengamen pada umumnya yang mengandalkan suara dan alat musik semampunya. Musisi jalan Malioboro bukan tampil apa adanya, tapi mereka memaksimalkan nilai seni yang dimiliki. Tidak hanya bermodal gitar atau ukulele, bahkan mereka ada yang sampai membawa alat-alat tradisional atau gitar dengan bentuk yang berbeda yang bahkan sayab sendiri tidak tahu apa namanya.


KRATON JOGJA

Menurut yogyes.com, ada dua loket masuk menuju kraton Jogja yaitu tepas keprajuritan, dan tepas pariwisata. Sayangnya, saya sudah beberapa kali mengunjungi kraton Jogja tidak pernah tahu itu. Jadi hingga berkali-kali saya berkunjung ke Kraton, hanya melalui salah satu pintu masuk, itu pun saya juga tidak tahu yang mana.

Jadi sejatinya Kraton merupakan objek wisata peninggalan sejarah namun masih dipergunakan. Kehidupan Sultan masih berlangsung di dalam bangunan yang didirikan tahun 1755 itu. Oleh karena itu, ada tempat-tempat yang tidak diperbolehkan bagi para wisatawan untuk dieksplor. Meskipun begitu, banyak hiburan yang bisa dinikmati seperti pertunjukkan-pertunjukkan tradisional yang rutin diadakan di Bangsal Pagelaran. Selain itu sejatinya tempat ini benar-benar terrawat seperti layaknya rumah penduduk dengan arsitektur dan dekorasi Jawa yang khas. Saya sendiri karena sejak awal tidak tahu keberadaan dua loket masuk, ditambah ketika itu saya enggan didampingi tour guide, jadi saya tidak bisa banyak bercerita kecuali tentang kekaguman saya pada pelestarian kesenian Jawa yang terpajang apik di sana. Jadi, saran saya apabila hendak berkunjung ke Kraton, ada baiknya meminta didampingi tour guide :)






Masih banyak tempat-tempat yang pernah saya kunjungi di Jogja meski tidak sampai semua tempat wisata. Candi Borobudur, Candi Prambanan, Rumah Mbah Marijan, Monjali (Monumen Jogja Kembali), Benteng  Vredeburg, Pantai Parangtritis, Kota Gede, kuliner, dan penginapan paling sederhana hingga berbintang. Lain kali saya merencanakan perjalanan touring ke Jogja, mungkin setelah itu baru akan saya tambahkan lagi postingan mengenai Jogjakarta.
 
;