Manusia lekat dengan ujian. Dan kenyataan berkata, sebenarnya hasil dari ujian itu sudah diketahui oleh Dia Yang Menguasai langit dan bumi. Dan apabila kita bertanya-tanya mengapa Tuhan memberikan kita ujian? Maka jawabannya ada 2, yaitu untuk mendidik manusia, baik secara langsung, maupun tidak langsung. Dan memberi hukuman bagi manusia yang telah melakukan kesalahan.

Dalam agama Islam, dikatakan terdapat takdir yang sudah pasti dan tidak bisa diubah, dan ada takdir yang bisa diubah. Saya sendiri jujur saja merasa rancu dengan takdir yang bisa diubah. Saya lebih senang mengatakan kedua hal tersebut sebagai ‘takdir’ titik. Karena pada dasarnya jalan hidup manusia memang sudah diletakkan sebagaimana semestinya. Terkadang saya bertanya-tanya apa tujuan Tuhan menciptakan manusia apabila Dia memang sudah mengetahui bagaimana kesudahannya. Agama Islam kembali menjawab bahwa tujuan manusia adalah beribadah. Dan Tuhan sendiri sama sekali tidak membutuhkan amal-amal baik manusia. Sehingga kesimpulannya, Tuhan telah berbaik hati menciptakan manusia dari ruh-ruh yang tidak solid, dan diberikannya jasad, sehingga manusia bisa memiliki kehidupan seperti sekarang ini.

Jadi seluruh kerja keras Tuhan menciptakan manusia adalah SATU, hanya untuk kebaikan manusia itu sendiri.

Kembali pada masalah takdir, apabila hasil akhir sudah ditentukan, untuk apa kita bekerja keras? Toh memang fakta, ada manusia-manusia yang seringkali mendapatkan hasil berlimpah ruah melebihi apa yang telah diimpikannya (beruntung) tanpa usaha apa-apa, dan di sisi lain ada manusia yang berusaha mati-matian tapi tidak mendapatkan hasil yang diharapkan (justru terkadang malah mengecewakan). Apabila garis takdir sudah tertulis, maka keadilan tidak akan pernah ikut campur dalam kehidupan. Dan kosakata keadilan seharusnya sudah dihilangkan, atau bahkan tidak perlu dibuat sejak awal.

Dan jika manusia memiliki persepsi seperti itu, maka Tuhan tidak akan segan-segan untuk tertawa.
Apakah pernah diciptakan sebuah rumus keadilan
Usaha = Hasil
Semakin besar usaha maka semakin besar pula hasilnya.

Sehingga apabila ada faktor X yang menyebabkan seseorang yang sudah sangat keras berusaha tiba-tiba tidak mendapatkan hasil yang baik, merupakan suatu keputusan Tuhan yang Tidak Adil? Bukan. Keadilan tidak pernah diciptakan rumusnya. Terlalu kompleks dan hanya Tuhan yang bisa menggunakan rumus tersebut.

Dia adalah Yang telah Menciptakan kosa kata keadilan. Dan Dia telah mengakui bahwa diriNya lah yang Maha Adil. Pernahkah terpikir bahwa manusia telah menyebutkan bahwa diri mereka adalah makhluk sosial. Makhluk yang tidak dapat hidup mandiri. Makhluk yang membutuhkan makhluk satu spesiesnya untuk bisa bertahan hidup. Satu-satunya makhluk yang membangun peradaban sosial sebesar satu planet.

Oleh karena itu, interaksi antar individu adalah suatu bentuk kegiatan rutin dan wajib dilakukan umat manusia. Keputusan atau pilihan seorang individu, bahkan dalam menentukan sesuatu yang hanya mempengaruhi kehidupannya, tetap akan berdampak masif pada kelompok sosial dimana individu berada dan bisa berinteraksi. Seperti contohnya, ketika seseorang (X) sedang memilih sebuah pilihan untuk menentukan nasibnya di masa depan dengan mengikuti tes masuk perguruan tinggi. Sebenarnya dalam kasus ini, mutlak X adalah penentu pilihannya karena yang sedang dihadapinya adalah masa depannya. Namun ternyata, kasus pertama, orang tuanya tidak setuju dengan pilihan X karena fakultas/universitas pilihan X blablabla sehingga menurut prediksi mereka, X tidak akan memiliki masa depan yang cukup gemilang dengan berada di tempat tersebut. Hal ini akan mempengaruhi dan pada akhirnya mengubah keputusan X untuk memilih apa yang sudah dipilihnya itu. Dan garis masa depannya yang sudah direncanakan X pun akan berubah.
Kasus kedua, teman X yang memiliki karakteristik hampir sama seperti X, karena melihat X memilih fakultas/universitas yang dipilihnya dengan yakin, maka teman X (yang masih memiliki sifat ketergantungan tinggi), akan merasa bahwa dirinya mungkin cocok berada di tempat yang sama dengan tempat pilihan X.

Kasus ketiga, yang hanya berpengaruh pada pandangan orang di sekitar X. Ketika X, dengan kecerdasan yang biasa saja dan tidak cukup memiliki prestasi yang luar biasa, memilih fakultas di universitas yang memiliki passing grade tinggi, maka akan memberi pengaruh pada orang-orang di sekitarnya. Pertama, dengan mengetahui kepercayaan diri yang sangat tinggi yang dimiliki X, maka teman X yang juga memiliki kecerdasan biasa saja akan termotivasi, tidak lagi merendahkan dirinya dan akan berani untuk memilih fakultas/universitas yang berpassing grade tinggi. Tapi bisa juga menimbulkan pikiran negatif karena aura persaingan akan bertambah ketat bagi orang-orang yang memilih fakultas/universitas yang sama seperti pilihan X. Hal ini bisa mengakibatkan rentannya hubungan antara X dengan temannya itu, sehingga mereka tidak lagi berhubungan dengan baik.

Kasus keempat, yang tidak berhubungan langsung dengan kehidupan X, yaitu orang yang tinggal jauh dari X dan bahkan tidak saling mengenal, mungkin memiliki ability dalam dirinya untuk berada dalam fakultas/universitas pilihan X, tetapi tidak memiliki kemampuan ekonomi yang cukup untuk bisa mengikuti kegiatan intensif bimbingan belajar sebelum test masuk perguruan tinggi. Perubahan pilihan X (faktor orang tua, teman, dll), memberi peluang lebih pada seseorang-yang-jauh-disana itu untuk mendapatkan kursi di tempat fakultas/universitas yang baru saja dillepas X.

Keempat kasus ini hanya secara umum, akan jauh berbeda dengan orang-orang yang memiliki kehidupan yang tidak semonoton X.

Selanjutnya, ketika hasil test telah diumumkan. Ada dua kemungkinan, Lulus atau tidak. Ketika lulus, berarti keberadaan X dalam fakultas/universitas (yang akhirnya) menjadi pilihannya adalah yang terbaik bagi X, semua orang, dan masa depannya. Tetapi bila X tidak lulus, maka banyak alasan, baik yang simpel sampai yang sangat kompleks.

Pertama, tempat itu tidak akan memberi kesuksesan bagi X, tidak akan memberi kebaikan pada X (atau justru memberi keburukan), dan mungkin kalaupun dipaksa, maka dalam proses perkuliahannya, X tidak bisa mengikuti dengan baik (berhubungan dengan kecerdasannya yang biasa-biasa saja).
Kedua, kelulusan X di tempat yang bergengsi itu akan membuat X besar kepala, sehingga hubungan sosialnya dengan teman SMA atau teman-temannya di luar pergaulan di universitas itu, akan terganggu. Dan ini bisa mempengaruhi kehidupan X ke depannya.

Ketiga, mungkin dalam garis takdirnya, X menemukan pasangan hidupnya dengan berada di suatu tempat yang bukan tempat dimana fakultas/universitas pilihan X berada. Karena hal tersebut mutlak, kalau saja X lulus dan berada di fakultas/universitas yang dipilihnya itu, bisa saja terjadi X tidak akan pernah mendapatkan pasangan hidup.

Keempat, apabila X berada di fakultas/universitas tersebut, maka ketika lulus nanti, X akan sulit mendapatkan pekerjaan, atau X tidak memiliki potensi yang cukup memuaskan sehingga tidak akan ‘laku’.

Kelima, mungkin dengan X tidak berada di fakultas/universitas yang dipilihnya, maka X mendapatkan pergaulan yang lain, yang mungkin akan sangat bermanfaat bagi kehidupan X berikutnya. Apabila X berada di fakultas/universitas yang dipilihnya, bisa saja pergaulan di sana akan berimbas buruk bagi X, sehingga X menjadi orang yang tidak baik.

Keenam, ada orang-orang lain (jauh maupun dekat dengan kehidupan X) yang lebih baik daripada X untuk menempati tempat tersebut. Baik dari segi kecerdasannya, maupun dari segi perilakunya. Contohnya adalah kedokteran, sepintar-pintar apapun X baik dalam teori maupun skill, apabila tidak memiliki sikap yang baik, maka keberadaannya tidak banyak dibutuhkan dalam dunia medis. Sedangkan orang-orang lain yang mendapatkannya (menggantikan posisi X) adalah orang yang lebih bermanfaat. Bisa saja dengan kejadian ini, maka bertahun-tahun kemudian, orang yang menggantikan posisi X inilah berhasil menyelamatkan nyawa seseorang. Bukankah X akan cukup ikhlas menerima kegagalannya bila yang terjadi seperti itu? Pendeknya, ketidaklulusan X menyelamatkan satu nyawa.
dan banyak lagi yang situasi yang akan atau tidak akan terjadi dan saling berkaitan.

Keadaan seseorang yang sekarang kita lihat, apabila orang tersebut menyedihkan, dan kita adalah orang yang tampaknya cukup beruntung karena tidak memiliki keadaan menyedihkan, maka mungkin saja keberuntungan kita adalah keberuntungan yang diberikan oleh Tuhan dari kepemilikan orang-orang yang menyedihkan itu.
Karena itu, bila bercita-cita akan sesuatu, lalu dengan usaha yang sangat keras untuk meraihnya namun tetap saja hanya memetik sebuah kegagalan. Bukan semata-mata karena usaha dan doa yang dilakukan tidak cukup, atau merasa bahwa cita-cita itu terlalu tinggi. Tapi Tuhan Yang Maha Adil lebih mengetahui mana yang terbaik untuk individu tersebut, orang-orang di sekitarnya, orang-orang yang tidak berhubungan dengan masalah ini, dan masa depan.

Usaha tetap merupakan faktor yang penting, karena Tuhan selalu mempertimbangkan semua aspek yang ada untuk mengambil sebuah keputusan bagi individu tersebut. Takdir. Dan usaha serta berdoa adalah dua hal dari sekian hal yang menjadi faktor kesuksesan/kegagalan seseorang.

Keadilan mendasari takdir, dan persepsi manusia yang sering menganggap takdir itu kejam dan tidak adil adalah salah besar, karena sesungguh Dialah Yang Maha Mengetahui apa-apa yang ada di bumi dan langit.
Semoga pemikiran saya ini akan membangkitkan semangat bagi mereka yang tidak pernah merasa sebanding antara usaha dan hasil yang didapatkannya.